Minggu, 13 Oktober 2013

Istilah Mandar Dalam Lontar Mandar

Tidak ada komentar:


KATA PENGANTAR

Kata atau istilah Mandar dalam lontar Mandar, teramat banyak ditemukan dalam arti dan kepentingan yang berbeda-beda, namun tidaklah semua arti dan kepentingan yang berbeda-beda tersebut masuk kriteria yang dimaksud dalan judul diatas, melainkan yang dimaksud adalah bahagian-bahagian terpenting sehubungan dengan hakekat keberadaan Mandar itu sendiri, terutama apa itu Mandar dan hubungannya dengan kehidupan manusia yang berpredikat orang Mandar.
Kebudayaan dan sejarah adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan secara absolut. Artinya, ketika pengkajian kebudayaan mencoba menarik garis demarkasi dengan sejarahnya hampir bisa dipastikan yang bakal ditemui adalah kegamangan kebudayaan.
Kebudayaan apa saja dibelahan bumi ini selalunya dicatat oleh sejarah. Disitu sejarah dengan setia akan menungguinyadan mencatatkan setiap jengkal perubahan, pergeseran, bahkan pergesekan yang ditimbulkan oleh kebudayaan berukut manusia sebagai pelaku kebudayaannya. Kebudayaan sebagai gejala, kebudayaan setua sejarah manusia sendiri, yakni manusia sebagai makhluk individual dan sekaligus sosial. Disini kebudayaan dapat dimaknai sebagai pengejawantahan akan proses pengukuhan pergeseran dan perkembangan kemanusiaan. Dan kenyataan kehidupanlah yang lalu kemudian menjadi konsep kebudayaan. Fuad Hasan (1989).
Dalam pemahannya seringkali kebudayaan dimaknai sebagai hasil cipta, karsa dan krya manusia. Yang lalu oleh sejarah dicatatkan apa yang dihasilkan oleh manusia itu sebagai kebudayaan.
Ketika kacamata analisis akan diarahkan pada pengamatan atas realitas kebudayaan suatu ranah budaya, sudah hampir pasti ia tak mungkin meninggalkan akar sejarah peradabannya. Berangkat dari asumsi ini, maka kiranya tidaklah salah jika diterjemahkan, bahwa memahami sejarah dan kebudayaan tidak mungkin abai kepada realitas empiris sejarah peradaban sebuah ranah budaya. Tempat berdiamnya sebuah komunitas kemasyarakatan. Tak pelak upaya yang sama juga tampaknya harus dimulai, ketika, akan coba dikaji perihal Mandar dan kebudayaannya. Salah satu syarat utamanya adalah, mesti beranjak dari asal muasal, agenda pertumbuhan dan perkembangan kebudayaannya. Hingga kepada letak geografis kewilayahannya dan lain sebagainya yang berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang dipahami sebagai konsep kebudayaan. Mandar sebagai sebuah entitas yang memiliki keluhuran budayanya, adalah salah satu contoh kongkret yang amatlah menarik untuk di kaji secara mendalam. Utamanya dalam kaitannya dengan realitas nilai yang terus berkembang dan dinamis bersamaan dengan pergeseran waktu dan perubahan ruang. Jika menilik periodisasi Kebudayaan Mandar, maka ada baiknya ditoleh apa yang pernah ditulis oleh Leonard Y Andaya (2004),
Di Sulawesi Selatan ada empat suku besar yakni, Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dimana bugis mendiami seluruh bagian timur dan separuh bagian barat dari semenanjung Sulawesi Selatan, Makassar mendiami bagian barat dan selatan sedangkan Toraja Sa’dan kebanyakan mendiami wilayah pegunungan utara berbatas dengan Bugis. Sementara Mandar menempati wilayah pesisiran dan pegunungan atau pedalaman di bagian barat daya. Khusus untuk Mandar terdiri atas dua pembahagian, yakni, Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan digunung atau di pedalaman­- pen), mereka ini secara etnis adlah orang Toraja. Dan mereka yang tinggal dipesisiran yang berqada dibawah sebuah konferedasi, Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di pesisiran- pen).
Mandar, jika dikaji peradabannya, utamany dalam konteks nilai dan alegori budayanya. Sudah hampir pasti, mesti diawali dan dimulai dari pemahaman dasar atas ranah pijakan sejarah yang melatarinya, seperti yang telah dijelaskan diatas tadi.
Dari segi kebahasaan penamaan akan Mandar sendiri masih terjadi kesimpang siuran. Hal ini mudah di pahami, mengingat minimnya simbol budaya Mansar yang dapat dengan gamblang menjelaskan penggunaan label kata Mandar pada manusia yang berdiam di pesisiran dan pedalaman bagian barat sebelah utara Sulawesi Selatan ini. Atau yang kini disebut sebagai Wilayah Sulawesi Barat pasca pemekaran provinsi.
Apapun asal kata Mandar, hingga kini belum ada yang dapat dengan gamblang menyimpulkannya. Sebab yang pasti, Mandar adalah sebuah suku bangsa yang ada di Indonesia yang berada di Sulawesi Barat (pasca pemekaran propinsi Sulsel-pen) dan berdiam di dua wilayah yakni pesisiran dan pegunungan atau pedalaman dan berada di bagian barat Pulau Sulawesi atau pesisir utara Propinsi Sulawesi Selatan. Terdiri atas beberapa kabupaten yakni, Polmas, Majene dan Mamuju (Plus Mamasa dan Mamuju Utara Pasca Pemekaran-pen). Dan hingga kini Mandar yang diterjemahkan sebagai Sungai Mandar yang hinggakini mengalir dan bermuara membelah Kota Tinambung di Kecamatan Tinambung.
Dari sinilah penulis tertarik untuk mengangkat judul suku mandar sebagai tema makalah ini guna l mempelajari dan menelusuri keberadaan suku mandar agar didapat kejelasan fakta-fakta mengenai suku mandar tersebut.
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan Uraian diatas dapat dibuat rumusan masalahnya sebagai berikut:
  1. Apakah yang dimaksud dengan suku mandar?
  2. Dimanakah suku mandar berada?
  3. Mengapa suku itu disebut suku mandar?
  4. Bagaimanakah kebudayaan suku mandar tersebut?

PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya suku Mandar
Mandar adalah nama suatu suku (etnis) bangsa dan nama budaya dalam Lembaga Kebudayaan Nasional dan Lembaga Pengkajian Budaya Nasional. Diistilahkan sebagai etnis karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari empat suku utama yang mendiami kawasan propinsi Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (Mangkasara’ ) etnis Bugis (Ogi’ ), etnis Toraja (Toraya)1. pengelompokan ini dimasukkan dalam suatu kelompok pengkajian yang disebut “Lagaligologi”.
Mandar sesuai dengan makna kuantitas yang dikandungnya dalam konteks geografis meliputi wilayah dari batas Paku (Wilayah Polmas) sampai Suremana (Wilayah Kabupaten Mamuju). Akan tetapi dalam makna kualitas serta simbol dapat kita batasi diri dalam lingkup kerajaan Balanipa sebagai peletak dasar pembangunan kerajaan (landasan ideal dan landasan struktural), dan sebagai bapak (ketua) perserikatan seluruh kerajaan dalam wilayah Mandar Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga.
Mengenai nama Mandar dalam catatan sejarah, kita ketemukan dalam sastra Ilagaligo, dengan istilah Manre’, dam dalam naskah Allamungang Batu di Luyo di sebut dengan istilah “Sipandar”, sedangkan nam yang masih melekat pada indikasi geografis adalah “Ulu Mandar” (daerah hulu sungai Mandar yang mengalir di Tinambung-Polmas). Walaupun demikian, orang-orang yang berasal dari daerah ini masih mengenal istilah Lita’ Mandar yang indikasinya menunjuk pada seluruh bekas wilayah Afdeling Mandar. Tentang nama Mandar itu sendiri masih diliputi tanda tanya besar yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang mendalam dan mendasar hingga kini. Namun demikian para sarjana Barat (peneliti) yang telah menyinggung dalam tulisannya tentang Mandar antara lain : Van Vollendhoven (1933) menyebutkan sebagai “de seven Bond Mandar”; Nikoles Gravaise (1685-1701) menyebutkan sebagai “The Kingdom of Mandar”; Andaya (1981) yang sukar memisahkan antara Balanipa dan Mandar; Mallincroft (1933) menyebutnya wilayah-wilayah kerajaan pegunungan; pemerintah kolonial menyebutnya sebagai Bandge nootschapp elijke landen (arsip nasional 1838-1848), dan kemudian berubah menjadi wilayah dibawah kekuasaan Asisten Residen Mandar dan wilayahnya disebut Afdeling Mandar.2
Dalam Assitalliang (perjanjian) Tamajarra’I dan perjanjian Tamajarra II 3 dan begitu pula Allanuangang Batu (Ikrar Sipamandar) di Luyo 4 mengisyaratkan bahwa Mandar sebagai konsep wilayah dan konsep budaya lahir dari kesepakatan dan kesadaran serta tuntunan rasa persatuan dan kesatuan empat belas kerajaan dalam wilayah etnis Mandar yakni tujuh buah kerajaan di pesisir pantai dalam kelompok kerajaan pegunungan dalam kelompok kerajaan Pitu Ba’bana Binanga dan tujuh buah kerajaan pegunungan dalam kelompok kerajaan Pitu Ulunna Salu. Prakarsa dan koordinasi dilaksanakan oleh kerajaan Balanipa dan kemudian menjadi pusat konfederasi Mandar. 5
Oleh karena kesepakatan dalam perjanjian Tamajarra’ dan Ikrar Sipamanda diatas terjadi sebelum pemerintahan kolonial masuk ke Mandar, maka dalam struktur pemerintahan mencaploknya sebagai wilayah pemerintahan dengan sebatas Afdeling Mandar yang luas wilayahnya meliputi tiga kabupaten dati II sekarang ini yaitu kabupaten Polmas, Majene dan Mamuju.
Kata Manda atau Mandar dalam Ikrar Sipamanda di Luyo terdapat pengertian yang sinonim dengan kuat, sehingga makna Sipandar di Luyo diartikan sebagai suatu ikrar bersama untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan diantara mereka yang didorong oleh tuntutan dan pengalaman sejarah yang mereka alami.6
Dalam pengertian yang mungkin lebih mendekati makna esensi dan aktualitas Mandar ialah dengan memberi tambahan akhiran “an” pada kata Sipamandar menjadi Sipamandaran. Terkait dengan Ikrar Aipamanda di Luyo, Sipamandaran dapat dilihat dari tiga sisi. Dari sisi kultural Sipamandaran berarti bahwa mereka yang terikat dalam Ikrar Sipamandar di Luyo itu berasal dari satu kesatuan budaya dan wilayah yang disebut Mandar, dari sisi historis dan kearifan sejarah dapat berarti bahwa mereka yang terikat dengan ikrar Sipamandar di Luyo sebelumnya memang telah menyatu dalam satu kesatuan wilayah geografis dan budaya, akan tetapi proses wilayah telah mencerai-beraikan mereka sehingga mereka harus memperbaharui eksistensi dan subtansi dalam Ikrar Sipamandar, sedang dari sisi geneologis masih terdapat mitos dari daerah pegunungan dan daerah pantai yang menerangkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari satu leluhur yakni Pongkapadang (laki-laki) dan Torijenne (perempuan).7
Dengan demikian Ikrar Sipamandar di Luyo adalah rekonstruksi sejarah, rekonstruksi sosial budaya, sosial politik dan rekonstruksi wilayah secara bulat dan utuh. Dikatakan demikian karena melalui Ikrar Sipamandar di Luyo dan juga dasar perjanjian Tammajarra II adalah tekad penyatuan (Allewuang) kembali keluarga besar Pongkapadang/Torijenne dalam satu tatanan negara persatuan yang terpecah dan bersengketa sebelumnya, akibat pertumbuhan sosio-historis budaya, politik yang berbeda. Sehingga makna Sipamandar di Luyo lebih aktual pada makna Sipamandaran, yakni pengakuan bersama bahwa mereka terkait dengan kata Mandar sebagi kesatuan budaya dan kesatuan geonologis.
Kurun waktu kehadiran Pongkapadang/Torijenne di Tabulahang (wilayah kecamatan Mambi sekarang). Apabila diambil patokan pada masa berdirinya kerajaan Balanipa awal abad ke XVI dengan rajanya yang pertama I Manyambungi Todilaling (periode Todilaling berpatokan pada masa pemerintahan Tumapa’risi Kallonna, raja IX di Gowa tahun 1510-1546) dan jarak seperti patokan A. Tenri Aji, antara Pongkapadang dengan Todilaling sekitar tujuh generasi maka keberadaan Pongkapadang/Torijenne di Tabulahang sekitar abad XIII.8
Apabila kita berpatokan pada indikasi zaman logam dengan munculnya nama/sebutan seperti te’eng bassi (tongkat dari besi) dan masa jayanya zaman logam di Nusantara sekitar abad V atas lagi dari  dari abad XIII seperti patokan pada tujuh generasi sebelum Todilaling. Bahkan menurut penurutan Prof. Dr. MR. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. bahwa istilah To Menree (sebutan Mandar bagi orang Bugis) sudah tertera dalam buku sastra I Lagaligo yang ditulis dalam abad IX. Dalam tulisan yang lain beliau menyimpulkan bahwa disebutnya kerajaan-kerajaan Menre’ dalam buku sastra I Lagaligo itu bermakna bahwa kerajaan-kerajaan itu adalah kerajaan tua yang mungkin telah berdiri sejak abad IX. Buku sastra itu tentu mengandung beberapa fakta sejarah, sebagaimana halnya dengan abad dan hikayat.9
1. Prasejarah
Seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), menjelaskan bahwa, pembahagian yang pertama adalah, zaman prasejarah atau zaman yang meliputi zaman batu tua, zaman batu pertengahan dan zaman batu baru. Yang jika diurai penelusurannya, dapat dimulai sejak, adanya penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau, kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan tendiker yang berukir.
Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van Callenvels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara, kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gay dan kemiripan dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan 7 Masehi. (ibid).
Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan). Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia sejak 1000 tahun yang lalu. (ibid).
Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).
Sampai di sini juga ada pemahaman, masih mengutip lontar Mandar, bahwa sekitar tahun 1190 M atau abad 12 muncul sepasang manusia yang kemudian bergelar To Manurung di hulu Sungai Sa’ dang. Namun karena terjadi peperangan antara komunitas masyarakat pendatang dan komunitas masyarakat asli yang membuat salah satu komunitas masyarakat itu kemudian terdesat itu.
Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’ dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu diantara adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. Sarman Sahudding (2004).
Belum lagi apa yang disebutkan oleh DR. Edward L. Poelinggomang, M.A. (2004), yang menuliskan bahwa manusia pertama Mandar, seperti yang ada dalam Lontar seperti yang dikutip Salahhuddin Mahmud (1984) adalah, mendarat dan menetap di daerah hulu Sungai Sadang. Keterangan ini menurutnya DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. dapat diterjemahkan bahwa, pemungkiman di daerah ini telah terjadi jauh sebelum terjadinya penurunan permukaan laut (masa glasial). Lalu kemudian karena bencana alam, wabah penyakit, persoalan adat dan sistem kekuasaan yang membuat mereka berpindah dan membuat pemukiman baru.
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah yang sungguh akan membingungkan. Namun  tetap mesti dicatat, sebab penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan kebuntuan.
Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga kini di masyarakatnya.
Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama seperti bahwa, tidak semua  bahwa hasil budaya (sebagai fossilized behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar lainnya masih berada di tanah dan dalam air.
2.Sejarah
Memulai penelusuran sejarah kerajaan pertama di Mandar mungkin bisa mengambil dan membandingkan dengan tatanan kerajaan lainnya. Yang selalu beranjak dari adanya manusia pertama, yang lalu kemudian berlanjut kepada mobilitas dinamis penduduk yang melahirkan arus perpindahan. Perpindahan masyarakat inilah kemudian yang melahirkan arus pendatang ke suatu komunitas mesyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada masa lalu lintas kepentingan dalam masyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada lalu lintas kepentingan dalam masyarakat heterogen. Sehingga terkadang akut memicu komplik dan peperangan diantara mereka. Sebagai konsekwensi logis dari kian memadatnya lalu lintas kepentingan dalam masyarakat pendatang dengan masyarakat yang didatangi. Dari peperangan ini pula kemudian melahirkan para pemimpin atau penguasa kerajaan-kerajaan lokal tersebut.
Di Mandar seperti cerita yang berkembang dan dipahami, termasuk yang ada didalam lontar seperti  yang ditulis Ibrahim Abbas (1999) bahwa kerajaan pertama di Mandar muncul secara spontan dari langit (manusia langit-pen). Hal itu menilik pada dikenalnya seorang sosok yang bernama To Manurung di hulu Sungai Sa’dang pada abad ke-12 atau sekitar tahun 1190 M.
Kemudian terjadi peperangan karena adanya komunitas pendatang yang melakukan perlawanan atas mereka. Sampai disini dipahami bahwa cikal bakal kerajaan muncul pada saat itu, dimana To Manurung kemudian menjadi Raja pertama di hulu Sungai Sa’dang.
To Manurung inilah kemudian yang melahirkan seorang putra yang bernama To banua Pong. To Banua Pong kemudian melahirkan lima orang anak yang kemudian tersebar ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Yang salah satu diantaranya bernama I Pa’darang. I Padarang inilah kemudian melahirkan raja-raja di Bone dan raja-raja di Mandar. Namun seperti yang lalu disahuti oleh A Syaiful Sinrang setelah melihat beberapa lontar menyebutkan bahwa dari Banua Pong lahir seorang anak yang menjadi cikal bakal para pendiri kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Ibrahim Abbas (1999).
Sementara itu, Salahuddin Mahmud, seperti yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), bahwa kerajaan di Mandar telah ada sejak abad ke empat yang lalu dikaitkan dengan momentum berdirinya kerajaan Kuta Kertanegara di Kalimantan Timur. Hal ini dikuatkan oleh adanya pelabuhan yang terdapat di daerah Sikendeng Kalumpang Kabupaten Mamuju. Belum lagi Muara Sungai di Karama di Mamuju yang berseberangan keluar dengan Muara Sungai Mahakam di Kalimantan Timur yang menjadi titik sentral pelayaran sungai menuju Hulu Sungai Mahakam. Namun karena infasi militer dan wabah penyakit kerajaan di Mamuju ini kemudian dipisahkan pindah ke Toraja atau Luwu.
Satu hal yang menarik, utamanya yang ditulis oleh Sarman Sahuddin dan Ibrahim Abbas sama-sama menyakini bahwa kerajaan pertama di Mandar berasal dari Hulu Sungai Sa’dang, sementara yang satunya lagi Muh. Ridwan Alimuddin, justru meyakini bahwa kerajaan pertama dan telah ada jauh sebelumnya, seperti apa yang dikemukakan oleh beberapa penulis lainnya. Dimana menurutnya sejarah kerajaan di Mandar dapat ditelusuri sejak berdirinya kerajaan di Kutai Kertanegara. Hala yang terakhir ini juga didasarkan pada temuan sejarah yang menunjukkan adanya cikal bakal kerajaan Mandar di Mamuju kala itu.
Lebih lanjut Muh. Ridwan Alimuddin menjelaskan, bahwa zaman kerajaan juga dapat ditelusuri sejak zaman Tomakaka, istilah lain bagi raja atau Mara’dia ketika itu. Pada era inilah Mandar kala itu dipimpin oleh seorang Tomakaka. Lalu entah mangkat atau apa, era tomakaka kemudian berakhir, ditandai dengan munculnya ; Tomakaka Tombara; Tomakaka Tombara ‘sendiri adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri dalam komunitas lokal mereka.
Tomakaka sesungguhnya adalah orang yang dituangkan dalam komunitas lokal, tetapi ia memiliki kedaulatan penuh kedalam dan keluar komunitas lokalnya. Hal yang dapat dijadikan acuan dalam menelusuri zaman tomakaka ini juga adalah apa yang pernah ditulis dalam Bestuurmemorie seorang asisiten Residen Mandar, W. J. Leyds yang menyebutkan, bahwa sebelum jaman Tidilaling telah terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil di Mandar yang untuk itu dikepalai oleh seorang Tomakaka. Seperti Tomakaka yang memimpin di Pasokkorang yang berada di Luyo atau dekat Mambu.
Sementara itu peta dan agenda sejarah perjalanan kerajaan Mandar juga tak boleh luput dari sejarah kerajaan balanipa yang kala itu ditandai dengan hadirnya Todilaling atau dikenal sebagai Tomayambungi sebagai mara’dia pertama. Yang setelah ia kembali dari Goa berupaya mempersatukan negri-negri besar atau lebih dikenal sebagai Appe Banua Kaiyyang (empat kerajaan besar-pen) yang meliputi, Napo, Mosso, Samasundu dan Todang. Masing-masing daerah itu juga dipimpin oleh Mara’dia atau raja yang diketahui oleh Tomayambungi. Dan setelah ia mangkat, lalu digantikan oleh anaknya yang bernama Tomepayung.
Pada perjalanan kepemimpinan Tomepayung ini lalu dikenal sebuah nama Puang Dipoyosang atau Puang Limboro sebagai sosok yang banyak membantu Tomepayung dalam kepemimpinan. Bantuan yang konkret atas kepemimpinan Tomepayung ini ditunjukkan oleh Puang Limboro dengan kemampuannya merampung dan mempersatukan beberapa kerajaan diwilayah Pitu Ba’bana Binanga, seperti kerajaan Sendana, Tappalang, Banggae, Pamboang dan Mamuju. Lalu membuat persekutuan kekerabatan (konfederasi) yang kemudian dikenal dengan Annang Ba’bana Binanga (enam kerajaan pesisir-pen),minus kerajaan Binuang yangdiketahui oleh Tomeyung sebagai Mara’dia Kedua Balanipa (ibit).
Bertitik tolak dari sinila lalu kemudian dikenal adanya perjanjian atau Muktamar Tammajara. Yang dalam banyak catatan menyebutkan, Muktamar atau perjanjian Tamajarra pertama yang dijelaskan pada abad-15 M. Konon perjanjian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk menyerang dan menghancurkan Tomakaka Pasokkorang yang dinilai telah lama mengganggu ketentraman daerah Mandar yang kala itu belum berbentuk Pitu Ba’bana Binanga.
Sahdan pasca Mukatamar atau perjanjian Tammajarra pertama  itulah, lalu keempat kerajaan ini menyerang dan memberanggus kerajaan Pasokkorang. Namun Pasokkorang sendiri sempat malarikan diri ke Sawitto (daerah di Kabupaten Pinrang-pen). Lalu digelarlah kembali Muktamar Tamajarra ke dua yang juga digelar di Balanipa dan masih diketua oleh Tomepayung dan sudah dihadiri oleh tujuh kerajaan pesisiran, termasuk Binuang yang absen pada Muktamar Pertama.
Motivasi dari Ikrar Tammajarra kedua ini adalah untuk menguatkan barisan kembali melawan dan menyerang Pasokkorang yang dikhawatirkan akan kembali berjaya setelah kembali dari Sawitto. Pada Muktamar atau perjanjian Tammajarra kedua ini juga lahir rumusan untuk menjadikan Kerajaan Balanipa sebagai bapak dan Kerajaan Sendana sebagai ibu dalam konsep dan tatanan adat. Kendati Balanipa sebagai Bapak dan Sendana sebagai Ibu dalam tatanan adat, namun kerajaan-kerajaan lainnya tetap memiliki otoritas kewilayahan masing-masing, kecuali dalam hal pertahanan dan keamanan. Dari Ikrar  Tammajarra kedua ini pulalah terealisir keinginan untuk menyatu dalam sebuah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga ini, walau sebelumnya idea dasarnya telah muncul pada saat Ikrar Tammajarra pertama.
Aralle bertugas sebagai juru penerangan, sebagai diplomator atau pemerintahan adat. Baik ke dalam maupun ke luar. Lebih khusus, menjadi pusat informasi, utamanya kepada Pitu Ba’bana Binanga mengenai hubungan kedua wilayah besar serumpung tersebut. Sedang dalam bidang legeslative Aralle adalah kedua sedang permusyawaratan adat. Matangnga sendiri, berfungsi dalam bidang eksekutiv sebagai benteng pertahanan, khususnya jika persekutuan dalam keadaan genting dan mendesak akan adanya serangan dari luar wilayah persekutuan. Di bidang legislative Matanganga bertanggungj awab atas keamanan dan ketertiban jalannya sidang musyawarah adat jika digelar.
Sedang Tabang bertugas menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan dalam bidang eksekutiv menjaga dan mengamankan hasil-hasil musyawarah dalam bidang legislative. Sementara Bambang bertugas sebagai penghubung dengan semua anggota persekutuan jika akan digelar musyarah adat dan menyimpan serta menjaga kerahasiaan hasil musyawarah adat. Dan yang terakhir Tu’bi memiliki tugas menjaga batas wilayah, sekaligus menjadi penghubung terkhusus kaitannya dengan kepentingan rakyat dua wilayah persekutuan, utamanya dengan Pitu Ba’bana Binanga. (idem).
Jika dipilah-pila, maka beberapa perjanjian tersebut seperti dikemukakan oleh Drs. Muis Mandra (2004) adalah; Perjanjian Rantebulahan yang konon terjadi pada abad ke-17 M. Antara kerajaan Rantebulahan dan mewakili Pitu Ulunna Salu dan Balanipa dan mewakili Pitu Ba’bana Binanga. Motif dari perjanjian ini adalah untuk memperkecil perbedaan pendapat guna persatuan dan kesatuan.
Sedang perjanjian berikutnya adalah, Perjanjian Malunda yang juga diklaim terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Rantebulahan. Perjanjian ini dilangsungkan antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga untuk menetralisi masalah Laikang Tallu dan Lante Samballa di Taang.
Berikutnya adalah, perjanjian Passulurang Bassi di Lakahang yang juga diduga terjadi pada abad ke-17 M yang bertujuan untuk membicarakan tentang masalah orang Pasokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palili’ Massedan yang menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menghadap ke Pitu Ba’bana Binanga.
Perjanjian lainnya adalah, Perjanjian Sungki’ yang diduga terjadi sekitar abad ke-18 M yang materinya adalah membicarakan tentang status Palili’ Massedan. Sedang perjanjian Damadama’ adalah perjanjian yang berikutnya, dan diduga juga terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Sungki’ yang materinya juga membicarakan tentang status daerah Paili’ Massedan, utamanya menyangkut hukum yang berlaku di daerah tersebut. Dimana ditetapkan melalui perjanjian ini, bahwa hukum yang digunakan di Palili’ Massedan adalah hukum yang hidup di daerah tersebut.
Perjanjian berikutnya adalah Allamunga Batu di Luyo, sebagai titik sumbu penyeimbang peta geografis kewilayahan Mandar antara persekutuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang menurut sejarahnya di motori oleh Raja Balanipa ke dua yang digelar di Luyo. Lalu dikatakan sebagai Allamungan Batu di Luyo, sebab pada perjanjian atau deklarasi ini, kemudian di simbolkan dalam bentuk batu yang ditanam ke dalam tanah di Luyo. Yang kini lalu menjadi simbol sejarah persatuan antara kedua persekutuan di Mandar.
Sedang Sarman Sahudding (2004), juga menulis bahwa materi kesepakatan atas ikrar atau perjanjian Loyu tersebut adalah pertama, jika anasir musuh datang dari wilayah pegunungan atau pedalaman, maka itu dibawah tanggung jawab Pitu Ulunna Salu sedang jika anasirnya musuh datang dari wilayah pesisiran, maka yang menjadi penanggung jawabanya adalah, Pitu Ba’bana Binanga. Lalu yang kedua adalah, ikrar persatuan dan soliditas antara dua persekutuan tersebut. Dan yang ketiga adalah, pernyataan senasib sepenanggungan diantara kedua persekutuan.
Perjanjian ini pulalah kemudian yang diklaim banyak orang sebagai perjanjian persatuan dua buah persekutuan dan menjadi tonggak sejarah keluhuran dan kebesaran peradaban Mandar. Cukup beralasan memang, mengingat bahwa formalnya penyebutan Nama Mandar konon dimulai sejak adanya perjanjian ini, yang sekaligus menandai menyatunya kedua persekutuan besar antara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam satu serikat konfederasi.
3.Masuknya Islam Di Mandar
Jauh abad sebelum Islam dikenal di Nusantera, utamanya pada zaman kerajaan, dimana Islam belum sempat menyentuh mereka. Mandar hampir sama persis dengan kerajaan-kerajaan atau komonitas adat lainnya di nusantara juga ketika mereka belum mengenal adanya agama (baca : agama resmi). Sehingga yang dapat di cermati dari era atau zaman tersebut adalah adanya kepercayaan yang bisah diamati pada bentuk verbal simbol-simbol budaya.Yang kemudian dikenal sebagai religi budaya.
Yusuf Akib (2003) menjelaskan bahwa, simbol-simbol tersebut digunakan sebagai media untuk mengekspresikan emosi keagamaan, dengan syarat bahwa simbol tersebut harus bisa membangkitkan perasaan dan keterikatan. Lebih dari sekedar formulasi verbal dari benda yang dipercaya sebagai lambang.
Artinya, diyakini bahwa masyarakat adat Mandar ketika itu hanya tunduk dan patuh kepada kepercayaan animisme yakni, kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai dan sebagainya, selebihnya adalah juga tunduk dan patuh atas kepercayaan dinamisme atau; kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Artinya yang berkembang pada saat itu adalah, kepercayaan yang lalu kemudian di bahasankan sebagai religi. Yang untuk itu dapat dilihat dalam lokalitas adat yang hingga kini masih menyisahkan simbol-simbol budaya dan upacara-upacara ritual kepercayaan, yang tentu diyakini dapat membangkitkan perasaan dan keterikatan.
Di Mandar khususnya di wilayah pedalaman atau pegunungan Pitu Ulunna Salu telah mengenal sebuah kepercayaan sebelum Islam banyak dianut, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah, Adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai berpegang pada palsafah Pemali appa randanna. Sarman Sahudding (2004).
Sedang untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budaya hanya dapat ditemui pada peninggalannya yang berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia bersumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti, tradisi ritual mappasoro’ (atau melarungkan sesaji di sungai-pen). Atau mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk menolak musibah-pen) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
Sementara khusus untuk agama resmi seperti Islam misalnya, sebahagian pandangan menyebutkan, pertama dikenal oleh masyarakat Mandar pada abad ke-16 M. saat itu berawal dari adanya para pedagang dari wilayah seberang yang masuk ke Mandar. Utamanya daerah yang berada dipesisiran. Konon ketika itu Daetta Tommuane, mara’dia yang memerintah di Balanipa didatangi oleh Abdurrahim Kamaluddin seorang pembawa siar Islam dari Gowa yang kemudian dikenal dengan sebutan Tuanta Yusuf alias Tuanta di Binuang sebab terakhir ia berdiam dan lalu meninggal dan dimakamkan di Binuang Ibrahim Abbas (1999).
Menurut sejarah Tuanta di Binuang inilah kemudian yang mula pertama menganjurkan dan mengerjakan Islam dengan pendekatan populis, yakni di tingkat masyarakat paling bawah (grass root). Adapun metode yang ia gunakan adalah mendirikan pusat-pusat pengkajian dan pengajian ke-Islam-an yang seperti pesentren. Pesantren yang paling pertama ia bangun adalah di daerah Tanggatangga. Salah satu daerah yang berada dibawah kendali wilayah mara’dia Balanipa. Dan di Tanggatangg itu pula oleh Tuanta di Binuang kemudian mendirikan Mesjid yang pertama di Tanah Mandar. Hal ini kemudian ditandai dengan simbol yang dikenal sebagai mokking patappulo diwilayah tersebut, yang kalo diterjemahkan kurang lebih berarti empat puluh orang santri. Sebagai santri yang mula pertama diasuh di pesantren tersebut.
Sepeninggalan Tuanta di Binuang inilah kemudian secara pelan namun pasti penganut agama Islam di Balanipa Kian bertambah massif, hingga ke wilayah Allu, Palili, Binuang dan sebahagian Banggae. Lalu masi pada abad yang sama, di Pamboang juga didatangi oleh dua penganjur Islam dari jawa dan bernama Raden Suryo Dilogo dan Syekh. Zakariah yang berasal dari Maghreb di daratan Afrika Utara. Berawal dari situlah kemudian Islam mula pertama dikenal di Pamboang yang kemudian diiukuti oleh mar’dia Pamboang yang lalu bergelar Tomatindo Diagamana, yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti orang yang meninggal ketika ia telah menganut agamanya, yakni Islam.
Laiknya sebuah seruan kerajaan, saat mara’dia Pamboang tersebut memeluk Islam, maka berbondong-bondong pulalah kemudian masyarakat memeluk agama yang dianut oleh sang mara’dia. Lalu pada abad ke-17 di Salabose Banggae juga Mara’dia Tondo’ juga didatangi oleh Syekh Abdul Mannan yang digelar sebagai Tosalama’ di salah seorang penganjur Islam yang kemudian diamini oleh para petinggi kerajaan di Banggae kala itu. (ibid).
Sementara itu, penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau Sulawesi dan meratap pertama kali di Mamuju. (ibid).
Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene’ atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka’ Mambi, Tomakaka’ Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.
Adapun pengaruh ajaran Islam yang masih terlihat sebahagian sampai sekarang pada kebudayaan Mandar, antara lain :
l. Bidang Pendidikan.
Setelah Daetta Tommuane memeluk Islam terjadilah perubahan di bidang kehidupan masyarakat seperti bidang pendidikan. Dikumpulkan sejumlah 44 orang mukim pemuda remaja dididik menjadi kader-kader Islam. Oleh Raja Balanipa ditetapkan satu keputusan kerajaan yang berbunyi sebagai berikut :
Naiya mukim tannaindo allo, tannaimbui iri’ tandipandengngei, tandi pambulle-bullei, tandipa’ jagai, tandipannangi, Madondong duambongi anna lopai lita, maloli dai do timor tarruppu, maloli naun di wara tarruppu;
Artinya .
Adapun mukim itu tak tertimpa panas teriknya matahari, tak terhembus tiupan angin, tak akan dibebani tugas-tugas dan pikulan yang berat, tak akan dijadikan hamba sahaya. Dan apabila negara dalam keadaan panas, ke timur atau ke barat, mereka tak akan pecah (tak boleh diganggu).
2. Pemerintahan.
Struktur pemerintahan telah mengalami pula perubahan, yaitu dengan menetapkan sorang kali (Kadhi) sebagai Mara’dianna Sara’. Diadakanlah pertandingan membaca al-Qur’an, yaitu siapa yang dapat menguasai al-Qur’an dalam tempo satu bulan itulah juara pertama dan itulah yang menjadi Kali Balanipa I. Yang berhasil adalah seorang keturunan bangsawan yang bernama I Tamerus alias Isinyalala. (ini menurut pendapat M. Darwis’ Hamzah), dan beberapa pendapat lain lagi dari para tokoh ‘ budayawan Mandar lainnya.42
Di dalam struktur politik ditetapkan empat komponen sebagai kemantapan pertahanan nasional pada waktu itu, yaitu :
a. Golongan bangsawan yang disebut Tomawuweng ;
b. Golongan Alim Ulama dan cerdik pandai;
c. Golongan Angkatan Perang ;
d. Golongan pengusaha.43
3. Bidang Kesenian
Jika sebelum datangnya Islam, maka upacara tari-tarian yang dikenal dalam kerajaan berfungsi sebagai penyembahan kepada dewa, dengan datangnya Islam, maka seni tari hanya berfungsi sebagai bagian dari adat saja.
Tapi bagi orang yang telah menamatkan al-Qur’an dikenal adanya upacara diarak keliling kampung dengan menaiki saiyang pattudu’ (kuda yang pintar menari) sambil diikuti irama rebana, lalu di kanan kirinya kaum muda remaja memperlihatkan kebolehannya berkalinda’da’ (bersyair),44
3:1. Masalah perkawinan
Sampai pada saat ini di dalam perkawinan masih terdapat pengaruh ajaran Islam yang sukar ditumbangkan, sekalipun di sana sini masih terdapat sebahagian cara-cara yang tidak rasional dari pengaruh animisme dan Hindu. Yang menonjol adanya pengaruh Islam ialah adanya khutbah (pinangan) sebelum nikah, mangino (bermain-main dan berkejar-kejaran) sesudah akad nikah. Ini pernah dilakukan Nabi dengan Zainab. Penggunaan real (uang Saudi sekarang) di dalam mahar, dan yang bertanggung jawab sesudah nikah adalah kaum lelaki. Ini sesuai firman Allah, yang artinya laki-laki adalah bertanggung jawab terhadap kaum wanita. Syarat-syarat calon suami adalah tamma’ topa mangaji (harus tamat: mengaji).45
3.2. Masalah selamatan
Hingga saat ini selamatan masih dilakukan dengan baik oleh masyarakat Mandar. Pesta atau selamatan yang dibenarkan Islam ada tujuh perkawinan, penyunatan, akikah, pindah rumah, bepergian jauh, setelah kembali dari bepergian dan tasyakkur nikmat. Upacara kenduri dalam kematian, adalah pengarah Hindu yang diislamisasikan oleh para muballigh. Pesta-pesta lain seperti Maulid. Mi’raj. Halal bi Hala’la adalah termasud yang tidak merusak: Islam. Adapun selamatan pendirian rumah dengan menggantungkan air di dalam botol, kelapa, pisang pada tiang rumah bukanlah dari ajaran Islam; perlu diberantas.
3.3. Masalah pakaian
Pakaian wanita yang terdiri dari bayu pokko atau pasangan (Semacam baju bodo), masih terasa adanya pengaruh Islam. Yaitu bila melihat baju bodo yang sangat tipis dipakai oleh gadis-gadis remaja dari daerah Bugis/Makassar, ternyata di daerah Mandar, gadis-gadisnya belum berani merubah dari ukuran tebal menjadi tipis. Ini perlu dipertahankan, sebab di samping budaya turun temurun yang telah mendara daging, semangat inipun dijiwai oleh agama yang banyak dianut oleh masyarakat yaitu Islam. Demikian seorang pria dianggap kurang berakhlak jika berhadapan orang tua lalu tidak pakai kopiah atau songkok atau sapu tangan. Bahkan orang yang sudah haji tidak mau meninggalkan songkok Arab yang putih.46
3.4. Dalam ucapan dan nyanyian
Sampai saat ini masyarakat Mandar masih tetap terbiasa dengan ucapan: Bismillah, Alhamdulillah, Insya Allah, Masya Allah, Astagfirullah, Inna Lillah, Assalamu Alaikum, Wassalam, Amin, Mohamma’. Demikian dalam nyanyian dan syair (kalinda’da) betapa banyak yang dapat ditonjolkan adanya pengaruh agama. Salah satu diantaranya :
“Passambayang mo’o dai, Pallima wattu mo’o, iyamo tu’u pebonga di ahera”
Artinya :
“Hendaklah engkau tegakkan shalat, lima waktu selalu sempurna, sebab itulah bekal utama menuju kampung akhirat”.47
3.5. Malu berbuat dosa di muka umum
Siri’ yang telah dikenal oleh semua bangsa di Sulawesi Selatan, mendapat pancaran dari jiwa tauhid, khususnya di daerah Mandar, malu berbuat dosa utamanya di muka umum sangat menonjol. Bagaimanapun jahatnya seseorang pasti memelihara lidahnya agar tidak keseleo, malu melihat orang yang berbuat dosa, malu jika kehormatannya terganggu, malu jika tidak berhasil dalam cita-citanya dan sebagainya.48
Sebelum uraian ini tiba kepada penutup, maka sekali lagi, kami ulangi, bahwa untuk lebih membuktikan betapa agama Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam kebudayaan Mandar, coba diperhatikan dan ditelusuri semua syair-syair Mandar, semua kalinda’da bertemakan nasihat/agama, diperhatikan sebagai berikut :
1. Bismilla urunna elong
Bungasna pau
Salama’ nasang
Inggannana mairangngi
Dengan nama Allah awal nyanyian
Pangkal setiap ucapan
Semoga segenap hadirin
Selamat sentosa bagi yang mendengarkan
2. Manu-manu di Suruga
Saicco’pole boi
Mappettuleang
To sukku’ sambayanna
Burung indah penghuni Syurga
Senantiasa datang mengintai
Mengintai dan memperhatikan
Mereka yang sempurna menegakkan shalat
3. Ahera’ oroang tongan
Lino dindandi tia
Borong to landur
Leppang dipettullungngi
Kampung akhirat tujuan akhir
Dunia hanya pinjaman
Ibarat musafir
Sekedar singgah untuk berteduh
4. Meillong domai ku’bur
Sola sulo’o mai
Oroang ku’bur
Ta’lalo mapattanna
Dunia kubur memberi isyarat
Hendaklah anda siapkan obor
Sebab disana di liang kubur
Gelap gulita tiada taranya
5. Sambayang ditia tu’u
Namaka di pesulo
Kedo macoa
Namaka di pekasor
Sembahyang itulah yang paling baik
Dijadikan obor dalam kegelapan
Karya yang mulia
Bakal yang cocok dijadikan kasur.49
B. Masalah Nama Suku Mandar
Jika ada orang yang ditanya, “dari mana?” Dia mungkin menjawab, “dari Mandar” Jawaban yang demikian biasanya lanjut disusul dengan pertanyaan, “Mandar mana. Majene atau Polewali.” Yang ditanya akhirnya bisa menjawab secara pasti. “dari Polewali” atau “dari Majene” Dapat disimpulkan bahwa Mandar secara geografis tidak sebatas dengan wilayah keresidenan (Kabupaten) Polewali atau Majene, atau mungkin tidak sebatas kedua wilayah ini secara simultan, melainkan seluas wilayah yang diperjuangkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat (Provinsi Sulbar). Dengan kata lain, dalam konteks geografis dan bukan konteks kultural, istilah Mandar mencakup seluruh wilayah sulbar. Mungkin juga bisah diterima bahwa secara kultural dan terbatas, Mandar mencakup masyarakat Polewali, Majene, dan Mamuju. Jadi ada Mandar Polewali, ada Mandar Majene, dan ada Mandar Mamuju. Karena itu, Mandar, dalam Konteks Kultural, lebih sempit dari pada mandar dalam jangkauan makna geografis. Dalam konteks geografis, Provinsi Sulbar tidak hanya dihuni oleh masyarakat Mandar Polewali, Mandar Majene, dan masyarakat Mandar Mamuju, melainkan juga oleh masyarakat suku Toraja di Kabupaten Mamasa.
Fama dan Stigma
Orang luar Sulsel pada umumnya sudah mengenal Mandar dalam bingkai yang prestisious atau famous (fama = nama tenar karena baik) dalam kaitan dengan ungkapan-ungkapan seperti “Sarung Mandar,” “minyak goreng Mandar,” dan “Pisang Mandar.” Tempo doeloe, yang disebut sarung Mandar yang dicari-cari pembeli pastilah bermutu, baik dari segi kainnya, maupun dari segi tata wakna khas yang anti-luntur. Sarung Mandar menjadi primadona bagi pasar kain sarung di seluruh nusantara. Namun, penjiplakan nama sarung Mandar dan Pengatasnamaan jenis sarung ini demi laris di mata pembeli akhirnya melunturkan posisi sang primadona.
Tempo doloe, sebelum meluasnya pemasaran minyak goreng (Kelapa Sawit) asal fabrik dengan berbagai trade mark dan kemasan, minyak goreng Mandar yang paling digemari karena hasil olahan dalam suhu tinggi yang lama, juga karena aromanya yang merangsang nafsu makan. Selain itu, pisang Mandar yang dijual di pasar adalah pisang yang memang sudah tua atau bahkan sudah masak di pohon dan bukan pisang muda yang dikarbit sehingga tampak tua dan menarik.
Mandar juga sangat dikenal, terutama dalam kaitan dengan obat-obatan tradisional masyarakat Sulsel. Namun, Mandar dalam stigma tertentu dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu pusat pengobatan black magic yang amat ditakuti karena tinggi khasiat dan mujarabnya. Pelembekan kepala terhadap lawan yang ingin disengsarakan atau jenis black magic yang lain (di samping adanya white magic yang menjadi lawan terhadap black magic) menjadi cerita yang lazim terdengar.
C. Geografi Suku Mandar
Wilayah Mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 1o-3o Lintang Selatan dan antara 118o-119o Bujur Timur.
Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 Km2, terurai dengan :
1. Luas Kab.Mamuju dan Mamuju Utara                      : 11.622.40 Km2
2. Luas Kabupaten Majene                                           : 1.932.00 Km2
3. Luas Kabupaten Polewali Mamasa                           : 9.985.00 Km2
Jadi luas Kabupaten Polewali sendiri                  : 9.985.00 Km2
Dikurangi luas Kabupaten Mamasa sekarang       : Km2
Semula dari saman dahulu kala, minimum di zaman Penjanjian atau Allamungang Batu di Lujo, batas-batas wilayah Mandar adalah :
  1.  
    1. Sebelah Utara dengan Lalombi, wilayah Sulawesi Tengah
    2. Sebelah Timur dengan Kabupaten Poso, Kabupaten Luwu dan Kabupaten Tanah Toraja
    3. Sebelah Selatan dengan Binanga Karaeng, Kabupaten Pinrang
    4. Sebelah Barat dengan Selat Makassar
Kini batas Mandar di Utara berubah jadi Suremana, yang berarti kita kehilangan
wilayah lebih sepuluh kilometer, dan juga kehilangan lebih sepuluh kilometer di Selatan, karena batas wilayah Mandar di Selatan sekarang sudah bukan Binanga Karaeng, tapi Paku.
Sebelum Mandar secara resmi memakai istilah Mandar, leluhur Mandar tampil dengan dua predikat yang baku dan umum disepakati oleh leluhur di Mandar, yakni dua predikat kelompok yaitu kelompok kerajaan di daerah pegunungan yang lazim dikenal dengan istilah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) dan kelompok kerajaan yang terletak di muara sungai, yang lazim dikenal dengan istilah Pitu Baqbana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai), mereka leluhur Mandar menggunakan istilah “Hulu” dan “Muara” sungai, perlambang jalinan persatuan antara dua kelompok itu teramat erat yang tidak mungkin bisa dipisahkan, laksana satu sungai yang hanya bisa dipilih antara Hulu dengan Muara. Antara lain perjanjianyang bertujuan kesepakatan bulat demi untuk hidup bersatu, seiya sekata, senasib dan sepenanggungan antara dua kelompok, ialah :
1. Perjanjian Rantebulahang :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Kerajaan Rantebulahang mewakili Pitu Ulunna Salu dan Kerajaan Balanipa mewakili Pitu Baqbana Binganga. Tujuannya untuk memperkecil perbedaan pendapat, guna menjalin persatuan dan kesatuan.
2. Perjanjian Malundaq :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah Lalilakang Tallu di Malundaq dan Lante Samballa di Taang.
3. Passullurang Basi di Lakahang :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babaqna Binanga. Tujuannya ialah masalah orang Passokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palilinq Massedan menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menhadap ke Pitu Babaqna Binanga.
4.Perjanjian Sungkiq :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVIII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu, kakaruanna Tiparittiqna uhai dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya menjadikan daerah paliliq massedan menjadi kakaruanna Tiparittiqna Uhai, sehingga waktu itu terjadi istilah Pitu Ulunna Salu, Kakaruanna Tiparittiqna Uhai, Pitu Baqbana Binanga.
5.Perjanjian Dama-damaq :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad XVIII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu, daerah paliliq Massedan dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya pembebasan daerah paliliq Massedan untuk memakai hukumannya sendiri didalam daerahnya.
6. Allamungang Batu di Luyo (Spamandaq di Lujo) :
Transliterasi :
a. Taqlemi manurunna peneneang uppasambulobulo anaq, appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, nasaqbi Dewata Diaya dewata diang, Dewata dikanang Dewata dikairi, Dewata diolo Dewata diboeq, menjarimi passemandarang.
b. Tannisapaq tanniatonang, maq allonang mesa mallatte samballa, siluang sambusambu sirondong langiqlangiq, tassipande peogdong tassipadundu pelango, tassipelei dipanraq tassialuppei diapiangang.
c. Sipatuppu diadaq sipalete dirapang, adaq tuho di Pitu Ulunna Salu, Adaq Mate di Muane adaqna Pitu Baqbana Binanga.
d. Saputangang di Pitu Ulunna Salu, Simbolong di Pitu Baqbana Binanga.
e. Pitu Ulunna Salu memata di Sawa, Pitu Baqbana Binanga memata di Mangiwang.
f. Sisaraqpai mato malotong anna mata mapute, anna sisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.
g. Moaq diang tomangipi mangidang mambattangang tommutomuane, namappasisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, sirumungngii anna musesseqi, passungi anaqna anna muanusangi sau di uwai temmembaliq.
Terjemahan :
a. Sudah terfakta kesaktian leluhur moyang menyatu bulatkan anak cucunya di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga, diatas kesaksian Dewata (Tuhan) diatas Dewata dibawah, Dewata di kanan Dewata di kiri, Dewata dimuka Dewata di belakang, lahirlah persatuan seluruh Mandar.
b. Tak berpetak tak berpembatas, bersatu bantal bertikar selembar, sepembalut tubuh selangit-langit, saling tidak memberi makanan yang menyebabkan bisa tertulang, saling tidak memberi minuman yang memabukkan atau beracun, saling tidak meninggalkan dikesusahan, saling tidak melupakan pada kebaikan.
c. Saling menghormati hukum dan peraturan masing-masing, Hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, Hukum mati disuami adatnya Pitu Baqbana Binanga (Kerajaan Balanipa).
d. Destar (ikat kepala) di Pitu Ulunna Salu, Sanggul di Pitu Baqbana Binanga.
e. Pitu Ulunna Salu menjaga Ular (musuh dari darat), Pitu Baqbana Binanga menjaga Hiu (musuh dari laut).
f. Nanti berpisah mata hitam dengan mata putih, baru juga bisa berpisah Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga.
g. Barang siapa yang mimpi mengidamkan seorang anak laki-laki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga, bersepakatlah untuk segera membedah perut yang hamil itu, lalu keluarkan ubang bayi laki-laki itu, kemudian hanyutkanlah ke air yang tidak mungkin kembali lagi.
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVIII/XIX masehi antara leluhur Mandar yang mendiami daerah Pitu Ulunna Salu dan daerah Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya kesepakatan bulat untuk secara resmi menggunakan Mandar sebagai nama kesatuan suku dan budaya dan kesepakatan mengakui bahwa Mandar adalah wilayah yang tercakup di daerah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Mulai saat itu leluhur orang Mandar mengakui penggunaan istilah Mandar secara formal dan resmi sebagai nama kesatuan suku dan budaya seluruh rakyat yang mendiami wilayah tertentu yang diberi nama Mandar.
Maka berdasarkan Sipamandaq di Lujo ini, lahirlah :
a. Mandar yang mempunyai wilayah tertentu dengan letak geografis dan batas-batas tertentu.
b. Mandar yang mempunyai rakyat tertentu yang di sebut suku Mandar.
c. Mandar sebagai satu diantara empat etnis di Sulawesi Selatan.
d. Mandar dengan budaya spesifik yang dikenal dengan budaya Mandar.
Dengan demikian, maka Mandar tidak bisa dijadikan nama salah satu kabupaten di Mandar, karena akan bertentangan dengan syarat-syarat yang dimiliki oleh Mandar, baik Mandar sebagai nama kesatuan suku budaya, maupun syarat-syarat lain seperti letak geografis, luas wilayah dan rakyat yang masuk criteria rakyat Mandar.
Kwalitas kemandaran diantara empat belas kerajaan yang ada di Mandar semua sama, yang olehnya tidak ada satu kerajaan yang bisa mengklaim nama Mandar untuk dipakai sendiri, karena Mandar adalah milik bersama empat belas bekas kerajaan di Mandar.
Kecuali apabila diadakan lagi pertemuan seluruh Mandar dan di bicarakan bersama lalu dicapai kesepakatan untuk mengisinkan salah satu bekas kerajaan di Mandar untuk memakainya, penulis rasa ini tidak ada masalah.
D. Sistem Kebudayaan Suku Mandar
Pada suatu saat Baharuddin Lopa ditanya, “mengapa menurut pendapat atau penilaian banyak orang. Pak Lopa adalah tokoh yang jujur dan berani. Almarhum Baharuddin Lopa menjawab, andaikan pertanyaan mereka itu benar, maka mungkin saya jujur dan berani justru karena saya ini orang Mandar, ketika hal ini ditanyakan kepada penyair nasional asal Mandar, Husni Djamaluddin, pernyataan Lopa itu dibenarkannya. Apa yang dia ucapkan, dia sudah lakukan. Satunya kata dengan perbuatan adalah nilai utama masyarakat Mandar yang dapat disampaikan dengan “lempu” (makna yang mencakup nilai kelurusan, kejujuran, keadilan, dan keikhlasan).
1. Sistem Kekerabatan
Suku Mandar, pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu sistem bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak mereka yang sekolah di tempat lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal istilah mesangana, di Bugi asseajing, keluarga luas yaitu famili-famili yang dekat dan sudah jauh tetapi ada hubungan keluarga . mereka tidak mendiami hanya satu d tetapi tersebar di beberapa tempat (daerah).
Disini kita melihat ada sedikit perbedaan dengan dengan suku Bugis, kerana didaerah Bugis pada umumnya wanita yang memegang peranan dalam peraturan rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah, untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya di Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam pengurusan pencaharian nafkah, mereka mempunyai prinsip hidup, yaitu Sibaliparri, yang artinya sama-sama menderita (sependeritaan) seperti : Kalau laki-lakinya (sang suami) menangkap ikan, setelah sampai di darat tugas suami dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan itu akan dijual atau akan dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri. Di daerah Bugis wanita juga turut mencari nafkah tetapi terbatas pada industri rumah, kerajinan tangan,menenun anyaman, dan lain-lain.
Di daerah Mandar terkenaldengan istilah hidup, sirondo-rondoi, siamasei, dan sianauang pa’mai.
Sirondo-rondoi dimaksudkan bekerjasama bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri bergotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai, (sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira dan susah sama susah.
Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama bantu membantu baik yang bersifat materil maupun sprituil.
Pada umumnya suku Mandar ramah-tamah yang muda menghormati yang tua. Kalau orang tua berbicara dengan tamu, anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut bersuara).
a. Mengalah yaitu kalau menghadap raja, kaki tangan dilipat.
b. Meminta permisi kalau lewat didepan orang dengan menyebut Tawe.
c. Kalau bertamu sudah lama, mereka minta permisi yang disebut massimang
Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.
Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.
Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya. Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.54 hubungan kekerabatan Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone, maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.55
Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan Taramanuq.
Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan.
3. Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga
Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah, bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan keturunannya.
Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :
a. Manusia yang berkembang di Balanipa
Seperti yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang) melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali. Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang yang malahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja Balanipa yang pertama.
Demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.
b. Manusia yang berkembang di Sendana
Selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri berkembang pula di Tallangbalao senadana. Tidak lama kemudian, datang pula Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang pula keturunannya sampai sekarang.
Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan orang di luar Mandar.
c. Manusia yang berkembang di Banggae
semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula Tomamakaq diSalogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana.
Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar. Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang).
Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu lebih berkembang luas sampai sekarang.
d. Manusia Yang berkembang di Pamboang
Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu.56
Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana, kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang. Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di luar Mandar sampai sekarang ini.
e. Manusia yang berkembang di Tappalang
Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.
f. Manusia yang berkembang di Mamuju
Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng, Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju.
g. Manusia yang berkembang di Binuang
Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).59
2.Sistem Sosial
Pelapisan masyarakat di daerah Mandar nampaknya masih ada walaupun tidak menjadi hal yang mutlak dikedepankan lagi dalam pergaulan keseharian. Hal ini dapat diperhatikan jika kita membaca sejarah Mandar.
Kerajaan-kerajaan yang masih mempunyai kedaulatan pada masa berkuasanya raja-raja dahulu hakekatnya terbagi dalam dua stratifikasi, yaitu lapisan penguasa dan lapisan yang dikuasai. Sistem mobilisasi sosial orang Mandar memiliki sifat yang amat sederhana dan elastis dimana lapisan penguasa bukan hanya dari golongan tomaradeka (orang biasa), apabila mereka mampu memperlihatkan prestasi sosialnya, misalnya : to panrita
to sugi
to baranito sulasana,
dan to ajariang. 20
Kelima macam tersebut ditempatkan dalam lapisan elit (golongan atas orang terpandang). Dengan demikian terjadilah mobilisasi sosial horisontal bagi anak puang. Lambat laun nampak pelapisan masyarakat ini makin tipis akibat pembauran dalam bentuk perkawinan. Kelima golongan tadi juga memiliki andil untuk dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat karena kelebihannya itu.
Struktur masyarakat di daerah Mandar pada dasarnya sama dengan susunan masyarakat di seluruh daerah di Sulawesi Selatan, dimana susunan ini berdasarkan penilaian daerah menurut ukuran makro yaitu : 1. Golongan bangsawan raja, 2. Golongan bangsawan hadat atau tau pia, 3. Golongan tau maradeka yakni orang biasa, 4. Golongan budak atau batua.21
Golongan bangsawan hadat ini merupakan golongan yang paling banyak jumlahnya. Mereka tidak boleh kawin dengan turunan bangsawan raja supaya ada pemisahan. Raja hanya sebagai lambang sedangkan hadat memegang kekuasaan. Friedricy 22 (ahli sosiologi) pernah menulis tentang lapisan masyarakat pelapisan masyarakat Mandar :
a.       To diang layana (Zij die vors tenbloed hebben)
1.       De Arajang (de regeerende vorstengersladht).
2.       De Ana Mattola Payung (de opvolgers van vorige vorsten).
3.       De Araddia Tallupparappa (de drie kwart maradia’s).
4.       De Puwang Sassigi (de halve heeren).
5.       De Puwang Siparapa (de kwart heeven).
b.     Tau Maradeka (Bevrijejen).
1.       De Tau Pia (regenten adel).
2.       Tau Pia Nae (hoorgere hoofdengeslachten).
3.       Tau Pia (lagere hoofdengeslachten).
c.     Batuwa
1.       Batua Sassorang (erpslapen) (Budak turun temurun)
2.       Batuwa Dialli (nieuwe salavan) (Budak yang dibeli)
d.     Batua Inrangang (menjadi sahaya karena kalah perang atau karena berutang).
Menurut Ahmad Sahur dalam teorinya manifestasi gotong royong dalam masyarakat Mandar, bukan puang sassigi melainkan puang sassigi, bukan tau pia melainkan tau mapia karena tau pia tidak ada artinya dalam bahasa Mandar.
Menurut Dr. Darmawan Mas’ud mungkin Friedericy benar kalau dia mentranskripsikan dari huruf lontara. Puwa bisa dibaca Puang, bisa juga Pua, karena huruf lontara tidak menggunakan huruf mati. Sesudah agama islam masuk ke daerah ini perbudakan dihapuskan, akan tatpi sahaya-sahaya tersebut tetap setia pada tuannya sampai sekarang. Kalau ada diantara mereka yang menikah dia berusaha menghadirkan tuannya. Hal ini sudah merupakan tradisi turun-temurun dan yang menarik di daerah Mandar, ialah golongan bangsawan hadat di daerah lain tidak ditemukan golongan tersebut. Golongan ini yang paling banyak jumlahnya dan ini yang paling ketat memegang adat. Golongan bangsawan raja tidak boleh kawin dengan golongan bangsawan hadat. Kalau terjadi perkawinan demikian, maka keturunannya tidak boleh menjadi raja di kerajaan Pitu Ba’bana Binanga. Maka timbulnya hadat yang pertama menurut lontara Mandar sebenarnya merupakan hasil musyawarah antara bersaudara anak Tomakaka Napo. Puang di Gandang kemudian beranak Todilaling dengan.
Puang di Tamajarra’ yang kemudian beranak puang di Pojosang. dan puang’di Pojosang inilah yang menjadi hadat yang pertama Mam Majelis Hadat berfungsi sebagai menteri urusan dalam negeri. Dan sebagai hadat yang paling tinggi. Turunan beliau inilah ang, .menjadi cikal-bakal bangsawan hadat, sedangkan Todilaling menjadi Arajang yang pertama dan seterusnya turunan turunannya dengan perjanjian sebagai berikut: “…Upakayyango mupakaraya, madondong duambungi anna mapparattas o wakeq, marropo-ropo batu wali membali akayyangang “artinya hadat berkata pada raja, “…engkau terangkat menjadi orang terhormat, tetapi engkau wajib memuliakan saya, besok lusa jika engkau berlaku tidak senonoh dan berbuat sesuatu yang menjadikan kerusakan dan kehancuran negeri, maka akan saya ambil kembali kebesaranmu’’.24
Demikian perjanjian ini berlaku sampai sekarang dimana bangsawan raja dalam waktu mana saja wajib menghormati bangsawan hadat, ditandai dengan panggilan puang, dan ; bangsawan hadat menghormati dengan ditandai dengan panggilan daeng, utamanya di dalam acara-acara resmi kerajaan.
Dari perjanjian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa raja tidak dapat bertindak sendiri tanpa persetujuan hadat. Gelar Andi di Mandar baru ada sesudah pengaruh Bugis masuk di daerah Mandar.
  1. Sistim Religi
Pada umumnya suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat dan guru-guru yang baik bersifat baik dan buruk (black magic) Daerah Mandar terkenal dengan guna-gunanya. Di samping itu orang-orang Mandar masih mengadakan upacara-upacara untuk pemujaan arwah nenek moyang . Hingga saat ini sejarawan di Sulawesi Selatan mengakui bahwa masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan ialah pada tahun 1603 M., yang pertama memeluk Islam ialah Raja Luwu di kampung . Patimang. Setelah memeluk Islam (mengucapkan syahadat) namanya menjadi Sulthan Waliyumidrakhudie. Kemudian atas usul Sultan agar Islam lebih jaya, menganjurkan kepada ketiga’ datuk pembawa Islam masing-masing Datuk Sulaiman, Datuk Tunggal dan Datuk Bungsu, agar mendatangi Raja Gowa mengajak masuk Islam. Tangga122 September 1605 M. Raja Tallo’, I Malaingkaan Daeng Manyonri dengan gelar Sultan Awwalul Islam, telah memeluk Islam kemudian I Manggarai Daeng. Manra’bia dengan gelar Sultan Aluddin, Raja Gowa juga telah menjadi Muslim.35
Setelah kedua raja tersebut memeluk Islam, maka berduyun­-duyunglah rakyatnya memeluk Islam tanpa paksaan dan intimidasi. Berbeda dengan raja Bone pada mulanya hanya rajanya yang bersedia, tapi rakyatnya tidak. Nanti pada tahun 1611 Raja Bone dan rakyatnya telah masuk Islam setelah melihat perkembangan Islam
6. Sistem Kesenian
Kalau di daerah-daerah lain dikenal dengan tarian-tarian khusus, maka di Mandar dikenal juga tarian seperti pattu’du. Tarian tersebut berasal dari kerajaan Balanipa Mandar dahulu. Sekarang terkenal pula di daerah Tinambung. Kondo sapata; Mambi, Sumarorong, Pana, Mamasa, Seni rakyat yang juga terkenal ialah  kuda Battu’du, yakni menari-nari mengikuti irama musik. Pencak silat, semuannya ini sering dipertunjukkan kalau ada pertunjukan juga kalau ada pesta perkawinan.
Alat musik rakyat :
- Pakkeke,. yaitu suling yang dibuat dari bambu dililit daun lontar, alat musik ini dapat,   dijumpai di Tinambung atau Campalagian.
- Gambus
- Rabana
- Kecapi
- Gamelan
- Suling.31 .
Sistim teknologi meliputi
1. Alat produksi
2. Bambu = semacam bakul
- Keranjang = anyaman yang terbuat dari bambu
2. Alat-alat rumah tangga
a. Alat dapur
- Sipi-sipi (bahasa Mandar) = penyepit api
- Balenga = belanga
- Gusi                                         = tempat beras / tempat air
- Pamuttu                                   = Wajan
- Tappiang                                 = Penampi beras
- Kawali                                     = Wajan dari tanah
- Okkang                                    = Alas periuk dari rotan
- Pegaru bassi                         = Untuk menggoreng
b. Alat makan.
- rotta                                        = Sendok nasi dari kayu
- Gallas                                      = Gelas
- Pindang                                   = Piring
- Seru                                        = Sendok
- Pattombong ande                   = tempat nasi
- Okkang                                    = Alas periuk
c. Alat tidur.
- Tappere                                    = Tikar
- Kasur                                     = Kasur
- Pa’disang                                  = Bantal
d. Alat pertanian.
- Sodo                                      = Sabit
- Parrassang                            = Linggis
- Dakkala                                 = Bajak
3. Alat-alat perburuan.
- Pattado                                 = Jerat
- Bassi / Peratu                        = Tombak
4. Alat Perikanan
- Jala                                       = jala
- Jala-jala rambang = jala kecil lubangnya
- Parappang                            = untuk menangkap cakalang dibuat dari bambu
- Bose                                      = dayung
- Lopi                                       = perahu
- Lepa-lepa                              = sampan
5. Alat peternakan
- Salokko                                  = kurungan ayam
- Kola                                       = kandang
6. Alat kerajinan (pertenunan)
- Panette                                 = alat untuk merapatkan benang
- Panasi                                   = kanji dari pepaya mentah direbus lalu dibusukkan
- Roeng                                   = alat untuk menggulung benang
- Unusan                                  = alat untuk membuat benang
Teknik membuat sarung Mandar
Benang sutera dimasak dengan pewarna dari daun-daunan sesudahnya dimasak, dicuci lagi bersih-bersih, setelah itu barulah digulung dan selanjutnya ditenun. Pada umumnya sarong Mandar warnanya suram, seperti hitam, merah tua, coklat tua.
Hal ini dimungkinkan karena pewarna dimasak bersama-sama dengan benang. Di daerah Bugis tidak demikian halnya, tetapi sarung sutera Bugis mudah luntur asal kena air, sedang sarung Mandar tidak luntur.
7. Alat peperangan
- Gajang                                  = keris
- Doe                                       = tombak
- Kawi                                      = Pisau
- Jambia = badik
8. Alat-alat untuk upacara
- La’lang                                   = Payung
- Lamming                                = pelaminan hanya digunakan untuk bangsawan
- Cerek                                    = tempat air
- Pambulukang                         = semacam pipa untuk rokok
- Ti ‘uduang                             = tempat ludah
Alat upacara
- Doe pakka                             = tombak yang bercabang dua
- Ganrang                                                = gendang
- Gong                                     = gong
- Sia-sia   = semacam alat bunyi-bunyian yang dibunyikan kalau upacara mau dimulai.
Tempat upacara
- Baruga  = sejenis rumah, dindingnya dari bambu bersilang tempat upacara adat yang lebih besar.
- Battayang                             = bangunannya lebih kecil
9. Alat-alat distribusi dan transport
- Bendi     = dokar (transport darat)
- Lopi       = perahu (transport air)
Di Mandar terkenal pembuatan perahu Sande dan Baggo.32 Demikianlah sekilas lintas mengenai adat dan upacara­
upacara di Mandar.
Satu fungsi rumah adalah tempat berteduh dan berlindung. Tetapi tentu tidak sampai disitu, sebab rumah selain fungsi tersebut, rumah juga dapat memberi ciri kepada penghuninya. Sekaligus dapat membedakan tingkat dan strata sosial pemiliknya dalam masyarakat. Di Mandar hal yang serupa juga demikian adanya, Dimana disamping ia memperhatikan estetika (keindahan-pen), fungsi dan kegunaan serta posisi­-posisi, pembagian ruangan atau yang lebih dikenal semacam feng shui, di dalam rumah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu adalah merupakan suatu kebiasaan yang telah turun temurung dilakukan oleh masyarakat. Namun hal yang paling mencolok dapat di amati dari rumah Mandar selain berbentuk rumah panggung, seperti kebanyakan khas rumah­rumah etnis Sulawesi, ia juga memperhatikan beberapa syarat dalam proses pendiriannya.
Dalam membuat rumah ini mereka memperhatikan syarat-syarat seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut adalah seperti, syarat ekonomi yaitu, memakai biaya yang serendah-rendahnya dan memanfaatkan alam sekitar. Sehingga rata-rata rumah yang ada di Mandar terbuat dari kayu yang tentu jenisnya bergantung kepada kemampuan pemilik rumah. Syarat yang kedua adalah, syarat teknis, yaitu menggunakan ukuran dan perbandingan yang sesuai. Misalnya ruang rumah lebih tinggi daripada kolong rumah, ruas tengah rumah lebih panjang dari pada ruas muka dan ruas muka lebih panjang daripada ruas belakang, tinggi tiang bubungan ada yang pakai ukuran puang atau bangsawan atau sukaq tang-nya (tinggi tiang bubungan seperdua daripada panjang balok kuda-kuda), yaitu ukuran bagi orang todiang laiyana (bangsawan), untuk orang tau pia biasa (orang terhormat biasa) ukuran tersebut dikurangi sedikit, dan bagi tau samar atau orang kebanyakan, menggunakan suka’ ukuran tallu. Tinggi tiang bubungan itu sepertiga dari panjang bae’ atau kuda­kuda. Tiang-tiang dilubang dan dihubung-hubungkan dengan balok secara melintang dan membujur dan di perkuat pula dengan passasil (pasak) dan panjoli (paku dari kayu) Syarat berikutnya adalah syarat kesehatan yaitu, menggunakan jendela yang berbentuk persegi empat agar cahaya dapat masuk kedalam rumah dan petukaran udara lancar. Ukuran luas rumah bervariasi antara 5 x 7 cm dan 7 x 9 m.
Diamati dari bentuk ruang dan fungsinya rumah Mandar dapat dibagi atas beberapa ruang dan fungsi sebagai berikut; naung boyang (kolom rumah), ruang yang berada dibawah ini lazimnya digunakan sebagai arena untuk menenun lipa sa’be Mandar (sarung sutra Mandar-pen), menyimpang kayu bakar, alat-alat kerja dan lain-lain ruang berikutnya adalah ruangan diatas rumah yang untuk mencapainnya menggunakan ende atau tangga yang terbuat dengan kayu, ruang boyang atau ruangan rumah bagian atas terdiri dari tallullottang (tiga petak) yang dibagi-bagi menurut kebutuhan. Petak pertama samboyang sebagai ruang tamu, petak kedua tangnga boyang sebagai ruang keluarga, peta tiga adalah ruang belakang yang kerap dijadikan, sebagai songsi atau kamar tidur baik untuk orang tua maupun anak-anak serta keluarga lainnya. Sedang dapur biasanya menjadi bahagian tersendiri dari ruang dan mutlak selalu berada di belakang.
Sedang ruang berikutnya adalah, tapang (loteng), ruangan ini terletak diatas ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis dan tempat menyimpan barang-barang berharga yang tidak digunakan sehari-hari pada waktu ada selamatan, kenduri atau acara perkawinan, dijadikan tempat mengatur lauk-pauk yang akan dihidangkan kepada para tamu untuk mencapainya mesti melalui ende atau tangga ke atas (ibid).
Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.
Jika terdengar lagu “Tengga Tengga Lopi”terkesan suasana kelautan dan kebebasan orang Mandar, bukan saja sebagai pelaut dengan perahu “Lopi” –nya yang digunakan untuk menjinakkan samudera dan mengembara ke segala penjuru, melainkan juga mengungkap gaya kebebasan hidup orang Mandar yang pantang dibelenggu. Selain Perahu Lopi, Parahu Sande’ pun. Dalm ukuran yang jauh lebih kecildaripada Lopi digunakan secara luas oleh warga masyarakat untuk mencari nafkah dan mengangkut barang kebutuhan sehari-hari dari pulau ke pulau atau laut ke pantai dan desa. Perahu Sande’ pernah di pamerkan di Paris, Perancis 1997 dan bahkan di jadikan Maskot Pameran Bahari 1997 selam 11 bulan di Paris.
Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.
Jika terdengar lagu “Tengga Tengga Lopi”terkesan suasana kelautan dan kebebasan orang Mandar, bukan saja sebagai pelaut dengan perahu “Lopi” –nya yang digunakan untuk menjinakkan samudera dan mengembara ke segala penjuru, melainkan juga mengungkap gaya kebebasan hidup orang Mandar yang pantang dibelenggu. Selain Perahu Lopi, Parahu Sande’ pun. Dalm ukuran yang jauh lebih kecildaripada Lopi digunakan secara luas oleh warga masyarakat untuk mencari nafkah dan mengangkut barang kebutuhan sehari-hari dari pulau ke pulau atau laut ke pantai dan desa. Perahu Sande’ pernah di pamerkan di Paris, Perancis 1997 dan bahkan di jadikan Maskot Pameran Bahari 1997 selam 11 bulan di Paris.
Tari-tarian mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat.
Tari “Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar.
7. Sistem Bahasa.
Seperti suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon masih sama dengan etnis lainnya di Indo­nesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indo­nesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib dkk (1992), bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.
Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar. Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).
Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.
Sedang menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring Kabupaten Pangkep.
Selain itu, juga ada kecenderungan yang sama dengan bahasa lain di luar bahasa Mandar yang mengikuti para pendukung bahasa Mandar dimanapun ia berada. Sehingga bahasa Mandar jika dilihat dari persebarannya juga banyak kita temuui di beberapa daerah dimana orang dari suku bangsa Mandar berada. Katakanlah seperti, di Kalimantan, Nusa Tenggara, beberapa dearah Palu Sulawesi Tengah, Bali, Madura dan beberapa tempat lainnya dimana disitu berdiam komunitas dari suku bangsa Mandar.
Kendati demikian, tidak lantas menjadi hambatan dalam proses komunikasi masyarakat Mandar, sebab proses penyatuan dan peleburan dalam komunikasi telah terjadi pembauran bahasa yang relatif sudah cukup cair utamanya di daerah Mandar sendiri. Jika menilik dialek bahasa Mandar, maka dapat diklasifikasikan kedalam pembahagian beberapa dialek seperti, dialek Balanipa di Kabupaten Polmas yang berpusat di Tinambung dengan varian-varian seperti Lapeo, Pambusuang, Karama, Napo, Tandung, Todangtodang.
Sedang dialek lainnya adalah dialek Pamboang yang terdapat di Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene yang variannya adalah, Luwaor, Bababulo, Adolang dan Tinambung Galunggalung. Sementara dialek Sendana juga di kabupaten Majene, digunakan di kecamatan Sendana dan daerah pesisir Kecamatan Malunda dengan variannya Mosso, Somba, Palipi, Pelattoang, Tammero’do. Dan daerah lainnya di Malunda juga dikenal dialek Ulu Manda’ yang juga berbatasan dengan daerah pedalaman Pitu Ulunna Salu di daerah gunung. Selain itu j uga dikenal adanya dialek Awo’ Sumakuyu yang dapat ditemui penggunaannya di Desa Onang dan perbatasan Malunda dengan varian, Desa Tubo yang diduga juga adalah termasuk dialek Ulumanda’ atau dialek Mambi Mehalaan. Kendati terdapat beberapa dialek clan penggunaan bahasa lain di daerah Mandar, tetapi pada umumnya dapat memahami dialel: Balanipa. Hal ini disebabkan peran dialek Balanipa pada zaman kerajaanlah yang banyak mendominasi dalam berkomunikasi. Utamanya pada saat gelar pertemuan antar beberapa kerajaan, dimana kerajaan Balanipa diposisikan sebagai ayah dalam peta kerajaan-kerajaan di Mandar. Praktis membuat penggunaan dialeknya menjadi dominan pula. Abdul Muttalib, dkk (1992).
Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kesamaan dialek, maka dalam bahasa Mandar dapat disebutkan, bahwa kesamaan dialek Balanipa dan Sendana sebanyak 184 buah kata, Balanipa dan Pamboang 190 buah, Balanipa dengan Majene 196 buah. Dan dialek Majene dan Sendana 182 buah, Majene dengan Pamboang 189, sedangkan Pamboang dan Sendana sebanyak 185 kesamaan. Artinya tingkat kesamaan rata-rata sekitar 90 % sedangkan perbedaannya berada dibawah 10 %. ( ibid).
Sedang menurut Ibrahim Abbas (1999),- bahwa setiap kelompok masyarakat di Mandar memiliki dialek tersendiri, namun yang paling menonjol perbedaan dialek, bahkan sampai pada bentuk pengucapan verbalnya dapat dilihat pada, dialek Mamasa, Campalagian, Balanipa, Pamboang, Malunda dan Kalumpang.
Masih menurutnya, dari segi penggunaan dan penggolongannya, maka bahasa Mandar membedakan tiga jenis bahasa yaitu, bahasa Hadat(bahasa golongan bangsawan) adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara sesama golongan bangsa wan, bahasa Samar (bahasa golongan menengah) adalah bahasa yang dipakai dikalangan umum masyarakat. Namun masih terasa adanya penghormatan -dari or­ang muda terhadap orang yang lebih tua. Dan yang terakhir bahasa Adae (bahasa buruk atau pasaran yang digunakan golongan bawah) adalah bahasa yang kurang bahkan tidak mengikuti aturan dan etika ketata bahasaan Mandar, yang penting mudah dipahami dan dapat digunakan dalam berkomunikasi.
Hal berikutnya yang juga dikenal dalam bahasa Mandar adalah, teknik berbicara dan makna pembicaraan, yang untuk itu dengan mudah dapat dicermati dalam keseharian yang berbentuk, bahasa resmi, bahasa akrab dan bahasa kiasan. Selain gaya bahasa seperti tersebut diatas orang Mandar mengenal pula adanya bahasa tomawuweng (bahasa orang tua-tua), bahasa topanrita (bahasa ulama), bahasa dukun atau yang dikenal dengan bahasa sando di Mandar. (ibid).
Sampai disini, jelas tergambar, bahwa selain bahasa Mandar menjadi alat pemersatu dan komunikasi antar orang Mandar, juga dapat dengan mudah menjadi penanda yang digunakan dalam mengamati orang Mandar, utamanya dari dialeknya yang dapat menunjukkan dari komunitas lokal mana orang Mandar tersebut berada. Selain itu, lebih jauh bahasa Mandar juga dapat menjadi simbol penanda dari kelas sosial mana orang tersebut berada. Hingga sampai kepada penanda untuk mengamati profesi or­ang yang menggunakan, dilihat dari gaya pengucapannya.
Walau kini dalam realitas kesehariannya sudah agak susah untuk membedakannya. Namun yang pasti realitas kebahasaan tersebut, paling tidak, pernah dikenal di Mandar. Sekaligus menunjukkan betapa kayanya bahasa Mandar, utamanya menilik makna dan hakikat intrinsik yang lebih dalam dari sekedar yang tampak atau terdengar verbal dalam bahasa Mandar.
8. Sistem Pemerintahan
Selam dua tahun terakhir, sangat kencang terdengar tuntutan pemekaran Provinsi Sulsel menjadi sejumlah provinsi. Tuntutan awal yang sangat menonjol terhadap berdirinya provinsi baru dengan nama Provinsi Sulawesi Barat atau Provinsi Sulbar dicetuskan oleh masyarakat Mandar. Berdirinya Sulbar sebagai provinsi baru menuntut pemekaran kabupaten sebagai prerequisite yang harus dipenuhi sesuai dengan undang-undang. Karena itu, Kabupaten Polewali –Mamasa dimekarkan menjadi Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa.
Usul agar kabupaten diubah menjadi Kabupaten Mandar sebaiknya diubah menjadi “KABUPATEN MANDAR POLEWALI” karena kemungkinan masih akan ada Kabupaten (Mandar-)Majene, dan Kabupaten (Mandar-)Mamuju, sedangkan Kabupaten Mamasa tetap saja Kabupaten Mamasa tanpa embel-embel lain seperti Mandar karena mayoritas masyarakat Mamasa termasuk masyarakat Toraja Barat. Bisa saja orang Mamasa yang ingin mengubah nama Kabupaten Mamasa menjadi Kabupaten Toraja Mamasa. Kata Toraja menunjukkan etnis budayanya, sedangkan Mamasa menunjukkan ikatan politik atau ikatan geografis yang menjadi tumpuan bagi institusi pemerintahan didalam wilayah Provinsi Sulbar yang akan dibangun. Karena itu, tak mengherankan bahwa para tokoh pendiri Provinsi Sulbar tidak menjadikan Sulbar Provinsi Mandar seakan-akan Provinsi Sulbar hanya khusus bagi masyarakat Mandar karena Kabupaten Mamasa aadalah juga bagian tak terpisahkan dari Sulbar.
Desentralisasi dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui adalah sebuah proses yang bertolak belakng dari sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah menguasai masyarakat nusantara yang majemuk yang hidup di berbagai kepulauan nusantara yang bertaaburan diatas samudra. Mayarakat nusantara mengalami perlakuan yang tidak adil. Jalan keluar dari ketidakadilan adalah desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah. Dengan kata lain, otoda adalah anak kandung dari usaha untuk memerangi ketidakadilan dan usaha untuk mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan otoriter yang membelenggu rakyat atau masyarakat nusantara.
Bukan mustahil, lahirnya rencana Provinsi Sulbar adalah juga didasarkan pada reaksi politik terhadap ketidakadilan dan management pemerintahan daerah yang meniru-niru pusat. Kehadiran Provinsi Sulbar diharapkan dapat menjamin penegakan keadilan oleh pemerintah Provinsi (Sulbar) terhadap kabupaten-kabupaten hasil pemekaran.
Kata kunci bagi pengembangan Provinsi Sulbaryang sudah lama ditunggu follow-up hukum/undang-undang dan politiknya adalah “demokrasi, keadilan, dan kemajemukan.” Demokrasi menuntut dihormatinya perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat dengan background multi-ethnic yang saling berbeda. Perbedaan itu akan hadir dan menjadi sesuatu kenyataan hidup yang mempesona jika nilai keadilan justru menjadi kekuatan yang menjamin kerukunan hidup bagi masyarakat yang pluralis.

PENUTUP
  1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :
  1. Suku mandar adalah adalah nama suatu suku (etnis) bangsa dan nama budaya dalam Lembaga Kebudayaan Nasional dan Lembaga Pengkajian Budaya Nasional. Diistilahkan sebagai etnis karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari empat suku utama yang mendiami kawasan propinsi Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (Mangkasara’ ) etnis Bugis (Ogi’ ), etnis Toraja (Toraya)1. pengelompokan ini dimasukkan dalam suatu kelompok pengkajian yang disebut “Lagaligologi”.
  2. Suku Mandar terletak di Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Selatan. Mendiami daerah di sepanjang aliran sungai Mandar dan Tajung Mandar di kabupaten polewali dan mamasa. dalam konteks geografis meliputi wilayah dari batas Paku (Wilayah Polmas) sampai Suremana (Wilayah Kabupaten Mamuju). Akan tetapi dalam makna kualitas serta simbol dapat kita batasi diri dalam lingkup kerajaan Balanipa sebagai peletak dasar pembangunan kerajaan (landasan ideal dan landasan structural)
  3. Mengenai nama Mandar dalam catatan sejarah, kita ketemukan dalam sastra Ilagaligo, dengan istilah Manre’, dam dalam naskah Allamungang Batu di Luyo di sebut dengan istilah “Sipandar”, sedangkan nam yang masih melekat pada indikasi geografis adalah “Ulu Mandar” (daerah hulu sungai Mandar yang mengalir di Tinambung-Polmas). Kata Manda atau Mandar dalam Ikrar Sipamanda di Luyo terdapat pengertian yang sinonim dengan kuat, sehingga makna Sipandar di Luyo diartikan sebagai suatu ikrar bersama untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan diantara mereka yang didorong oleh tuntutan dan pengalaman sejarah yang mereka alami.
  4. Sistem kebudayaan Suku Mandar meliputi sistem kekerabatan, sistem sosial, sistem pangetahuan, sistem religi, sistim pengetahuan, sistem kesenian,sistim pemerintahan, sistim bahasa, dan sistim kesenian.
  1. Saran
1. Supaya seluruh orang Mandar berteguh dan konsekuen menjadikan Mandar sebagai lambang Persatuan murni di seluruh etnis Mandar.
2. Untuk lebih mempertebal rasa kemandaran, supaya Budaya Mandar digali, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan dan diwariskan kepada generasi Mandar di seluruh wilayah Mandar.
3. Supaya seluruh Suku Mandar yang mengaku Berbudaya Mandar, sama-sama memelihara keutuhan Mandar sebagai lambang persatuan dan kesatuan di seluruh Mandar.
4. Supaya amanah Allumungang Batu di Lujo sebagai kearifan dan Amanah leluhur Mandar, kita terima sebagai warisan leluhur Mandar yang paling berharga untuk sama-sama dipegang teguh untuk memelihara keutuhan Mandar.
5. Diusulkan nama Kabupaten BalBen (Balanipa-Benuang) untuk jadi pengganti nama Polewali-Mamasa.


Peta Sulba ( Mandar)
Lipa' Sa'be Manda Sure' Panggulu
Lipa Sa'be Mandar Sure' Panggulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibaca

Desain Oleh :