Minggu, 13 Oktober 2013
Istilah Mandar Dalam Lontar Mandar
KATA PENGANTAR
Kata
atau istilah Mandar dalam lontar Mandar, teramat banyak ditemukan dalam arti
dan kepentingan yang berbeda-beda, namun tidaklah semua arti dan kepentingan
yang berbeda-beda tersebut masuk kriteria yang dimaksud dalan judul diatas,
melainkan yang dimaksud adalah bahagian-bahagian terpenting sehubungan dengan
hakekat keberadaan Mandar itu sendiri, terutama apa itu Mandar dan hubungannya
dengan kehidupan manusia yang berpredikat orang Mandar.
Kebudayaan dan sejarah adalah dua
hal yang tidak mungkin dipisahkan secara absolut. Artinya, ketika pengkajian
kebudayaan mencoba menarik garis demarkasi dengan sejarahnya hampir bisa
dipastikan yang bakal ditemui adalah kegamangan kebudayaan.
Kebudayaan
apa saja dibelahan bumi ini selalunya dicatat oleh sejarah. Disitu sejarah
dengan setia akan menungguinyadan mencatatkan setiap jengkal perubahan,
pergeseran, bahkan pergesekan yang ditimbulkan oleh kebudayaan berukut manusia
sebagai pelaku kebudayaannya. Kebudayaan sebagai gejala, kebudayaan setua
sejarah manusia sendiri, yakni manusia sebagai makhluk individual dan sekaligus
sosial. Disini kebudayaan dapat dimaknai sebagai pengejawantahan akan proses
pengukuhan pergeseran dan perkembangan kemanusiaan. Dan kenyataan kehidupanlah
yang lalu kemudian menjadi konsep kebudayaan. Fuad Hasan (1989).
Dalam
pemahannya seringkali kebudayaan dimaknai sebagai hasil cipta, karsa dan krya
manusia. Yang lalu oleh sejarah dicatatkan apa yang dihasilkan oleh manusia itu
sebagai kebudayaan.
Ketika
kacamata analisis akan diarahkan pada pengamatan atas realitas kebudayaan suatu
ranah budaya, sudah hampir pasti ia tak mungkin meninggalkan akar sejarah
peradabannya. Berangkat dari asumsi ini, maka kiranya tidaklah salah jika
diterjemahkan, bahwa memahami sejarah dan kebudayaan tidak mungkin abai kepada
realitas empiris sejarah peradaban sebuah ranah budaya. Tempat berdiamnya
sebuah komunitas kemasyarakatan. Tak pelak upaya yang sama juga tampaknya harus
dimulai, ketika, akan coba dikaji perihal Mandar dan kebudayaannya. Salah satu
syarat utamanya adalah, mesti beranjak dari asal muasal, agenda pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaannya. Hingga kepada letak geografis kewilayahannya dan
lain sebagainya yang berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang dipahami
sebagai konsep kebudayaan. Mandar sebagai sebuah entitas yang memiliki
keluhuran budayanya, adalah salah satu contoh kongkret yang amatlah menarik
untuk di kaji secara mendalam. Utamanya dalam kaitannya dengan realitas nilai
yang terus berkembang dan dinamis bersamaan dengan pergeseran waktu dan
perubahan ruang. Jika menilik periodisasi Kebudayaan Mandar, maka ada baiknya
ditoleh apa yang pernah ditulis oleh Leonard Y Andaya (2004),
Di Sulawesi Selatan ada empat suku
besar yakni, Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dimana bugis mendiami seluruh
bagian timur dan separuh bagian barat dari semenanjung Sulawesi Selatan,
Makassar mendiami bagian barat dan selatan sedangkan Toraja Sa’dan kebanyakan
mendiami wilayah pegunungan utara berbatas dengan Bugis. Sementara Mandar
menempati wilayah pesisiran dan pegunungan atau pedalaman di bagian barat daya.
Khusus untuk Mandar terdiri atas dua pembahagian, yakni, Pitu Ulunna Salu
(tujuh kerajaan digunung atau di pedalaman- pen), mereka ini secara etnis
adlah orang Toraja. Dan mereka yang tinggal dipesisiran yang berqada dibawah
sebuah konferedasi, Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di pesisiran- pen).
Mandar,
jika dikaji peradabannya, utamany dalam konteks nilai dan alegori budayanya.
Sudah hampir pasti, mesti diawali dan dimulai dari pemahaman dasar atas ranah
pijakan sejarah yang melatarinya, seperti yang telah dijelaskan diatas tadi.
Dari segi
kebahasaan penamaan akan Mandar sendiri masih terjadi kesimpang siuran. Hal ini
mudah di pahami, mengingat minimnya simbol budaya Mansar yang dapat dengan gamblang
menjelaskan penggunaan label kata Mandar pada manusia yang berdiam di pesisiran
dan pedalaman bagian barat sebelah utara Sulawesi Selatan ini. Atau yang kini
disebut sebagai Wilayah Sulawesi Barat pasca pemekaran provinsi.
Apapun asal kata Mandar, hingga kini belum ada yang dapat
dengan gamblang menyimpulkannya. Sebab yang pasti, Mandar adalah sebuah suku
bangsa yang ada di Indonesia yang berada di Sulawesi Barat (pasca pemekaran
propinsi Sulsel-pen) dan berdiam di dua wilayah yakni pesisiran dan pegunungan
atau pedalaman dan berada di bagian barat Pulau Sulawesi atau pesisir utara
Propinsi Sulawesi Selatan. Terdiri atas beberapa kabupaten yakni, Polmas,
Majene dan Mamuju (Plus Mamasa dan Mamuju Utara Pasca Pemekaran-pen). Dan
hingga kini Mandar yang diterjemahkan sebagai Sungai Mandar yang hinggakini
mengalir dan bermuara membelah Kota Tinambung di Kecamatan Tinambung.
Dari sinilah penulis tertarik untuk mengangkat judul suku
mandar sebagai tema makalah ini guna l mempelajari dan menelusuri keberadaan suku
mandar agar didapat kejelasan fakta-fakta mengenai suku mandar tersebut.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan Uraian diatas dapat dibuat rumusan masalahnya
sebagai berikut:
- Apakah yang dimaksud dengan suku mandar?
- Dimanakah suku mandar berada?
- Mengapa suku itu disebut suku mandar?
- Bagaimanakah kebudayaan suku mandar tersebut?
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya suku
Mandar
Mandar
adalah nama suatu suku (etnis) bangsa dan nama budaya dalam Lembaga Kebudayaan
Nasional dan Lembaga Pengkajian Budaya Nasional. Diistilahkan sebagai etnis
karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari empat suku utama yang
mendiami kawasan propinsi Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (Mangkasara’
) etnis Bugis (Ogi’ ), etnis Toraja (Toraya)1.
pengelompokan ini dimasukkan dalam suatu kelompok pengkajian yang disebut “Lagaligologi”.
Mandar sesuai dengan makna kuantitas yang dikandungnya dalam
konteks geografis meliputi wilayah dari batas Paku (Wilayah Polmas) sampai
Suremana (Wilayah Kabupaten Mamuju). Akan tetapi dalam makna kualitas serta
simbol dapat kita batasi diri dalam lingkup kerajaan Balanipa sebagai peletak
dasar pembangunan kerajaan (landasan ideal dan landasan struktural), dan
sebagai bapak (ketua) perserikatan seluruh kerajaan dalam wilayah Mandar Pitu
Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga.
Mengenai nama Mandar dalam catatan sejarah, kita ketemukan
dalam sastra Ilagaligo, dengan istilah Manre’, dam dalam naskah Allamungang
Batu di Luyo di sebut dengan istilah “Sipandar”, sedangkan nam yang masih
melekat pada indikasi geografis adalah “Ulu Mandar” (daerah hulu sungai
Mandar yang mengalir di Tinambung-Polmas). Walaupun demikian, orang-orang yang
berasal dari daerah ini masih mengenal istilah Lita’ Mandar yang
indikasinya menunjuk pada seluruh bekas wilayah Afdeling Mandar. Tentang nama
Mandar itu sendiri masih diliputi tanda tanya besar yang memerlukan pengamatan
dan penelitian yang mendalam dan mendasar hingga kini. Namun demikian para
sarjana Barat (peneliti) yang telah menyinggung dalam tulisannya tentang Mandar
antara lain : Van Vollendhoven (1933) menyebutkan sebagai “de seven Bond
Mandar”; Nikoles Gravaise (1685-1701) menyebutkan sebagai “The Kingdom
of Mandar”; Andaya (1981) yang sukar memisahkan antara Balanipa dan Mandar;
Mallincroft (1933) menyebutnya wilayah-wilayah kerajaan pegunungan; pemerintah
kolonial menyebutnya sebagai Bandge nootschapp elijke landen (arsip
nasional 1838-1848), dan kemudian berubah menjadi wilayah dibawah kekuasaan
Asisten Residen Mandar dan wilayahnya disebut Afdeling Mandar.2
Dalam Assitalliang (perjanjian) Tamajarra’I dan
perjanjian Tamajarra II 3 dan begitu pula Allanuangang
Batu (Ikrar Sipamandar) di Luyo 4 mengisyaratkan bahwa Mandar
sebagai konsep wilayah dan konsep budaya lahir dari kesepakatan dan kesadaran
serta tuntunan rasa persatuan dan kesatuan empat belas kerajaan dalam wilayah
etnis Mandar yakni tujuh buah kerajaan di pesisir pantai dalam kelompok
kerajaan pegunungan dalam kelompok kerajaan Pitu Ba’bana Binanga dan
tujuh buah kerajaan pegunungan dalam kelompok kerajaan Pitu Ulunna Salu.
Prakarsa dan koordinasi dilaksanakan oleh kerajaan Balanipa dan kemudian
menjadi pusat konfederasi Mandar. 5
Oleh karena kesepakatan dalam perjanjian Tamajarra’
dan Ikrar Sipamanda diatas terjadi sebelum pemerintahan kolonial masuk ke
Mandar, maka dalam struktur pemerintahan mencaploknya sebagai wilayah
pemerintahan dengan sebatas Afdeling Mandar yang luas wilayahnya meliputi tiga
kabupaten dati II sekarang ini yaitu kabupaten Polmas, Majene dan Mamuju.
Kata Manda atau Mandar dalam Ikrar Sipamanda di Luyo
terdapat pengertian yang sinonim dengan kuat, sehingga makna Sipandar di Luyo
diartikan sebagai suatu ikrar bersama untuk lebih memperkokoh persatuan dan
kesatuan diantara mereka yang didorong oleh tuntutan dan pengalaman sejarah
yang mereka alami.6
Dalam pengertian yang mungkin lebih mendekati makna esensi
dan aktualitas Mandar ialah dengan memberi tambahan akhiran “an” pada kata
Sipamandar menjadi Sipamandaran. Terkait dengan Ikrar Aipamanda di Luyo,
Sipamandaran dapat dilihat dari tiga sisi. Dari sisi kultural Sipamandaran
berarti bahwa mereka yang terikat dalam Ikrar Sipamandar di Luyo itu berasal
dari satu kesatuan budaya dan wilayah yang disebut Mandar, dari sisi historis
dan kearifan sejarah dapat berarti bahwa mereka yang terikat dengan ikrar
Sipamandar di Luyo sebelumnya memang telah menyatu dalam satu kesatuan wilayah
geografis dan budaya, akan tetapi proses wilayah telah mencerai-beraikan mereka
sehingga mereka harus memperbaharui eksistensi dan subtansi dalam Ikrar
Sipamandar, sedang dari sisi geneologis masih terdapat mitos dari daerah
pegunungan dan daerah pantai yang menerangkan bahwa nenek moyang mereka berasal
dari satu leluhur yakni Pongkapadang (laki-laki) dan Torijenne (perempuan).7
Dengan demikian Ikrar Sipamandar di Luyo adalah rekonstruksi
sejarah, rekonstruksi sosial budaya, sosial politik dan rekonstruksi wilayah
secara bulat dan utuh. Dikatakan demikian karena melalui Ikrar Sipamandar di
Luyo dan juga dasar perjanjian Tammajarra II adalah tekad penyatuan (Allewuang)
kembali keluarga besar Pongkapadang/Torijenne dalam satu tatanan negara
persatuan yang terpecah dan bersengketa sebelumnya, akibat pertumbuhan
sosio-historis budaya, politik yang berbeda. Sehingga makna Sipamandar di Luyo
lebih aktual pada makna Sipamandaran, yakni pengakuan bersama bahwa mereka
terkait dengan kata Mandar sebagi kesatuan budaya dan kesatuan geonologis.
Kurun waktu kehadiran Pongkapadang/Torijenne di Tabulahang
(wilayah kecamatan Mambi sekarang). Apabila diambil patokan pada masa
berdirinya kerajaan Balanipa awal abad ke XVI dengan rajanya yang pertama I
Manyambungi Todilaling (periode Todilaling berpatokan pada masa pemerintahan
Tumapa’risi Kallonna, raja IX di Gowa tahun 1510-1546) dan jarak seperti
patokan A. Tenri Aji, antara Pongkapadang dengan Todilaling sekitar tujuh
generasi maka keberadaan Pongkapadang/Torijenne di Tabulahang sekitar abad
XIII.8
Apabila kita berpatokan pada indikasi zaman logam dengan
munculnya nama/sebutan seperti te’eng bassi (tongkat dari besi) dan masa
jayanya zaman logam di Nusantara sekitar abad V atas lagi dari dari abad
XIII seperti patokan pada tujuh generasi sebelum Todilaling. Bahkan menurut
penurutan Prof. Dr. MR. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. bahwa istilah To
Menree (sebutan Mandar bagi orang Bugis) sudah tertera dalam buku sastra I
Lagaligo yang ditulis dalam abad IX. Dalam tulisan yang lain beliau menyimpulkan
bahwa disebutnya kerajaan-kerajaan Menre’ dalam buku sastra I Lagaligo
itu bermakna bahwa kerajaan-kerajaan itu adalah kerajaan tua yang mungkin telah
berdiri sejak abad IX. Buku sastra itu tentu mengandung beberapa fakta sejarah,
sebagaimana halnya dengan abad dan hikayat.9
1. Prasejarah
Seperti
yang ditulis Muh. Ridwan Alimuddin (2003), menjelaskan bahwa, pembahagian yang
pertama adalah, zaman prasejarah atau zaman yang meliputi zaman batu tua, zaman
batu pertengahan dan zaman batu baru. Yang jika diurai penelusurannya, dapat
dimulai sejak, adanya penggalian daerah Sampaga pada bulan Mei 1933 di Lembah
Sungai Karama Kabupaten Mamuju yang menemukan beberapa peralatan prasejarah
seperti batu dan gerabah. Yang lalu kemudian dilanjutkan dengan dua kali penelitian
di tempat yang sama di Bukit Kamassi’ yang menemukan alat-alat seperti pisau,
kapak batu, kapak batu segi empat mata panah yang halus, beserta pecah-pecahan
tendiker yang berukir.
Penggalian pertamanya sendiri dilakukan oleh PV. Van
Callenvels pada tahun 1933 di bagian tikur sedangkan penelitian yang kedua
dilakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem 1949 menemukan alat-alat batu, seperti
kapak batu, yang ada kemiripannya dengan Neolithic di Luzon (Philipina),
Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di
bagian selatan puncak Magassi’ ini juga ditemukan gerabah berhiasyang dinilai
oleh para arkeolog telah menunjukkan keteraturan kebudayaan di daerah Kalumpang
Kabupaten Mamuju ini terlingkup dalam satu wilayah Sa-huynh Kalanay, Philipina,
Vietnam dan beberapa daerah di kawasan Pasifik.
Hal berikutnya juga pernah dilakukan oleh Dr. FDK Bosch yang
mencoba membandingkan hasil temuan Amiruddin Maula salah seorang tokoh pendidik
di Kabupaten Majene yang menemukan Patung dan dibandingkannya dengan patung
Budha dari Solok Sumatera Barat, Kotabangun Jambi, Kalimantan Barat, Gunung
Lawu, Jawa Tengah, kesimpulannya, tidak ada satupun kemiripan atasnya. Dan
setelah dibandingkan dengan patung budha yang ada di India, Muka dan Gandhara,
kesimpulannya kemudian bahwa patung tersebut dipengaruhi oleh gay dan kemiripan
dengan Budha Greeco yang ada di India Selatan yang beraliran kesenian Amarawati
yang juga sangat besar pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-2 dan
7 Masehi. (ibid).
Dari sini kemudian dapat diterjemahkan bahwa keberadaan
Manusia pertama di Mandar sesungguhnya telah lama ada. Hal itu dikuatkan oleh
hitungan abad yang menjadi dasar dan pertimbangan atas temuan-temuan tersebut
diatas. Yang kemudian diperkuat lagi oleh hasil penelitan yang konon pernah
dilakukan HR Van Heekern bahwa kapak-kapak pembias yang ditemukan di Indonesia
ada kemiripan dengan yang ditemukan di Yunan dan Tongkin (Tiongkok Selatan).
Hal ini menguatkan pemahaman dan lalu melahirkan kesimpulan bahwa, orang-orang
Austronesia sesungguhnya berasal dari Yunan dan Tongkin dan masuk ke Indonesia
sejak 1000 tahun yang lalu. (ibid).
Beranjak dari pengertian diatas ini, hal yang juga mungkin
ada baiknya jika di ungkap adalah, tentang pandangan lain yang menjelaskan
bahwa orang Sulawesi Selatan-termasuk Mandar-pada umumnya berasal dari ras
Mongoloid yang masuk melalui jalur Philipina, lalu menyeberang ke Sulawesi
dengan jalan menyusuri Selat Makassar dan merapat di pesisiran Barat Pulau
Sulawesi. Konon seperti dikisahkan pula bahwa, kedatangan mereka pertama kali
secara berkelompok dan bertahap. Awalnya tinggal dan berdiam didaratan dekat
pesisiran, lalu dengan perlahan mereka lalu masuk gunung dan tinggal di
gua-gua, hidup berburu dan mengembara di hutan-hutan. Ibrahim Abbas (1999).
Sampai di sini juga ada pemahaman, masih mengutip lontar
Mandar, bahwa sekitar tahun 1190 M atau abad 12 muncul sepasang manusia yang
kemudian bergelar To Manurung di hulu Sungai Sa’ dang. Namun karena terjadi
peperangan antara komunitas masyarakat pendatang dan komunitas masyarakat asli
yang membuat salah satu komunitas masyarakat itu kemudian terdesat itu.
Namun versi lain juga ada yang menyebutkan bahwa awal muasal
manusia Mandar adalah Pongkapadang yang merupakan turunan dari Tobisse di
Tallang dan Tokombong di Bura yang lalu melahirkan 7 anak di hulu Sungai Sa’
dang yang kemudian menyebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu
diantara adalah Pongkapadang yang kemudian menurut penuturan sejarah memilih
berdiam di Tabulahan dan menikahi seorang gadis yang kemudian dikenal bernama
Torije’ne. Kedua pasangan ini kemudian beranak pinak yang kemudian di percaya
menjadi pemimpin di beberapa kerajaan di Mandar. Sekitar abad ke-11 M. Sarman
Sahudding (2004).
Belum lagi apa yang disebutkan oleh DR. Edward L.
Poelinggomang, M.A. (2004), yang menuliskan bahwa manusia pertama Mandar,
seperti yang ada dalam Lontar seperti yang dikutip Salahhuddin Mahmud (1984)
adalah, mendarat dan menetap di daerah hulu Sungai Sadang. Keterangan ini
menurutnya DR. Edwar L. Poelinggomang, M.A. dapat diterjemahkan bahwa,
pemungkiman di daerah ini telah terjadi jauh sebelum terjadinya penurunan
permukaan laut (masa glasial). Lalu kemudian karena bencana alam, wabah
penyakit, persoalan adat dan sistem kekuasaan yang membuat mereka berpindah dan
membuat pemukiman baru.
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan kesipangsiuran sejarah
yang sungguh akan membingungkan. Namun tetap mesti dicatat, sebab
penyaksian atas kejadian-kejadian yang terjadi dan diyakini adalah realitas
kesejarahan yang juga bertumpuk pada alasan-alasan historis yang memang susah
di tampik. Kendati memang, setiap orang yang akan melakukan pendalaman atas
zaman prasejarah di Mandar akan mengalami kesulitan-kesulitan, bahkan
kebuntuan.
Utamanya diakibatkan belum adanya kesepakatan antara
peneliti dan para pelaku sejarah dan kebudayaan yang koncern terhadap Mandar
atas zaman dan periodisasi prasejah di Mandar. Sementara satu sisi
realitas-realitas pemahaman historis tersebut tetap hidup berkembang hingga
kini di masyarakatnya.
Maka menarik apa yang diungkap oleh Mundarjito (1982) bahwa
tidak semua pikiran manusia dapat diwujudkan kedalam tingka laku lahiriah. Sama
seperti bahwa, tidak semua bahwa hasil budaya (sebagai fossilized
behavior) mencerminkan mental template (deetz) dari seluruh pikiran dan tingkah
laku manusia yang sanggup terekam dalam wujud benda budaya. Yang ada hanyalah
sebagian kecil saja, dari sekian banyak benda budaya yang dapat selamat hingga
kini. Sebagian besar rusak, sebagian besar hilang. Sedangkan sebagian besar
lainnya masih berada di tanah dan dalam air.
2.Sejarah
Memulai penelusuran sejarah kerajaan pertama di Mandar
mungkin bisa mengambil dan membandingkan dengan tatanan kerajaan lainnya. Yang
selalu beranjak dari adanya manusia pertama, yang lalu kemudian berlanjut
kepada mobilitas dinamis penduduk yang melahirkan arus perpindahan. Perpindahan
masyarakat inilah kemudian yang melahirkan arus pendatang ke suatu komunitas
mesyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada masa lalu lintas kepentingan dalam
masyarakat tertentu. Kemudian berlanjut pada lalu lintas kepentingan dalam
masyarakat heterogen. Sehingga terkadang akut memicu komplik dan peperangan
diantara mereka. Sebagai konsekwensi logis dari kian memadatnya lalu lintas
kepentingan dalam masyarakat pendatang dengan masyarakat yang didatangi. Dari
peperangan ini pula kemudian melahirkan para pemimpin atau penguasa
kerajaan-kerajaan lokal tersebut.
Di Mandar seperti cerita yang berkembang dan dipahami,
termasuk yang ada didalam lontar seperti yang ditulis Ibrahim Abbas
(1999) bahwa kerajaan pertama di Mandar muncul secara spontan dari langit
(manusia langit-pen). Hal itu menilik pada dikenalnya seorang sosok yang
bernama To Manurung di hulu Sungai Sa’dang pada abad ke-12 atau sekitar tahun
1190 M.
Kemudian terjadi peperangan karena adanya komunitas
pendatang yang melakukan perlawanan atas mereka. Sampai disini dipahami bahwa
cikal bakal kerajaan muncul pada saat itu, dimana To Manurung kemudian menjadi
Raja pertama di hulu Sungai Sa’dang.
To Manurung inilah kemudian yang melahirkan seorang putra
yang bernama To banua Pong. To Banua Pong kemudian melahirkan lima orang anak
yang kemudian tersebar ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Yang salah satu
diantaranya bernama I Pa’darang. I Padarang inilah kemudian melahirkan
raja-raja di Bone dan raja-raja di Mandar. Namun seperti yang lalu disahuti
oleh A Syaiful Sinrang setelah melihat beberapa lontar menyebutkan bahwa dari
Banua Pong lahir seorang anak yang menjadi cikal bakal para pendiri kerajaan di
Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Ibrahim Abbas (1999).
Sementara itu, Salahuddin Mahmud, seperti yang ditulis Muh.
Ridwan Alimuddin (2003), bahwa kerajaan di Mandar telah ada sejak abad ke empat
yang lalu dikaitkan dengan momentum berdirinya kerajaan Kuta Kertanegara di
Kalimantan Timur. Hal ini dikuatkan oleh adanya pelabuhan yang terdapat di
daerah Sikendeng Kalumpang Kabupaten Mamuju. Belum lagi Muara Sungai di Karama
di Mamuju yang berseberangan keluar dengan Muara Sungai Mahakam di Kalimantan
Timur yang menjadi titik sentral pelayaran sungai menuju Hulu Sungai Mahakam.
Namun karena infasi militer dan wabah penyakit kerajaan di Mamuju ini kemudian
dipisahkan pindah ke Toraja atau Luwu.
Satu hal yang menarik, utamanya yang ditulis oleh Sarman
Sahuddin dan Ibrahim Abbas sama-sama menyakini bahwa kerajaan pertama di Mandar
berasal dari Hulu Sungai Sa’dang, sementara yang satunya lagi Muh. Ridwan
Alimuddin, justru meyakini bahwa kerajaan pertama dan telah ada jauh
sebelumnya, seperti apa yang dikemukakan oleh beberapa penulis lainnya. Dimana menurutnya
sejarah kerajaan di Mandar dapat ditelusuri sejak berdirinya kerajaan di Kutai
Kertanegara. Hala yang terakhir ini juga didasarkan pada temuan sejarah yang
menunjukkan adanya cikal bakal kerajaan Mandar di Mamuju kala itu.
Lebih lanjut Muh. Ridwan Alimuddin menjelaskan, bahwa zaman
kerajaan juga dapat ditelusuri sejak zaman Tomakaka, istilah lain bagi raja
atau Mara’dia ketika itu. Pada era inilah Mandar kala itu dipimpin oleh seorang
Tomakaka. Lalu entah mangkat atau apa, era tomakaka kemudian berakhir, ditandai
dengan munculnya ; Tomakaka Tombara; Tomakaka Tombara ‘sendiri adalah pimpinan
persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri dalam komunitas lokal
mereka.
Tomakaka sesungguhnya adalah orang yang dituangkan dalam
komunitas lokal, tetapi ia memiliki kedaulatan penuh kedalam dan keluar
komunitas lokalnya. Hal yang dapat dijadikan acuan dalam menelusuri zaman
tomakaka ini juga adalah apa yang pernah ditulis dalam Bestuurmemorie seorang
asisiten Residen Mandar, W. J. Leyds yang menyebutkan, bahwa sebelum jaman
Tidilaling telah terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil di Mandar yang untuk
itu dikepalai oleh seorang Tomakaka. Seperti Tomakaka yang memimpin di
Pasokkorang yang berada di Luyo atau dekat Mambu.
Sementara itu peta dan agenda sejarah perjalanan kerajaan
Mandar juga tak boleh luput dari sejarah kerajaan balanipa yang kala itu
ditandai dengan hadirnya Todilaling atau dikenal sebagai Tomayambungi sebagai
mara’dia pertama. Yang setelah ia kembali dari Goa berupaya mempersatukan negri-negri
besar atau lebih dikenal sebagai Appe Banua Kaiyyang (empat kerajaan besar-pen)
yang meliputi, Napo, Mosso, Samasundu dan Todang. Masing-masing daerah itu juga
dipimpin oleh Mara’dia atau raja yang diketahui oleh Tomayambungi. Dan setelah
ia mangkat, lalu digantikan oleh anaknya yang bernama Tomepayung.
Pada perjalanan kepemimpinan Tomepayung ini lalu dikenal
sebuah nama Puang Dipoyosang atau Puang Limboro sebagai sosok yang banyak
membantu Tomepayung dalam kepemimpinan. Bantuan yang konkret atas kepemimpinan
Tomepayung ini ditunjukkan oleh Puang Limboro dengan kemampuannya merampung dan
mempersatukan beberapa kerajaan diwilayah Pitu Ba’bana Binanga, seperti
kerajaan Sendana, Tappalang, Banggae, Pamboang dan Mamuju. Lalu membuat
persekutuan kekerabatan (konfederasi) yang kemudian dikenal dengan Annang
Ba’bana Binanga (enam kerajaan pesisir-pen),minus kerajaan Binuang
yangdiketahui oleh Tomeyung sebagai Mara’dia Kedua Balanipa (ibit).
Bertitik tolak dari sinila lalu kemudian dikenal adanya
perjanjian atau Muktamar Tammajara. Yang dalam banyak catatan menyebutkan,
Muktamar atau perjanjian Tamajarra pertama yang dijelaskan pada abad-15 M.
Konon perjanjian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk menyerang dan
menghancurkan Tomakaka Pasokkorang yang dinilai telah lama mengganggu
ketentraman daerah Mandar yang kala itu belum berbentuk Pitu Ba’bana Binanga.
Sahdan pasca Mukatamar atau perjanjian Tammajarra
pertama itulah, lalu keempat kerajaan ini menyerang dan memberanggus
kerajaan Pasokkorang. Namun Pasokkorang sendiri sempat malarikan diri ke
Sawitto (daerah di Kabupaten Pinrang-pen). Lalu digelarlah kembali Muktamar
Tamajarra ke dua yang juga digelar di Balanipa dan masih diketua oleh
Tomepayung dan sudah dihadiri oleh tujuh kerajaan pesisiran, termasuk Binuang
yang absen pada Muktamar Pertama.
Motivasi dari Ikrar Tammajarra kedua ini adalah untuk
menguatkan barisan kembali melawan dan menyerang Pasokkorang yang dikhawatirkan
akan kembali berjaya setelah kembali dari Sawitto. Pada Muktamar atau perjanjian
Tammajarra kedua ini juga lahir rumusan untuk menjadikan Kerajaan Balanipa
sebagai bapak dan Kerajaan Sendana sebagai ibu dalam konsep dan tatanan adat.
Kendati Balanipa sebagai Bapak dan Sendana sebagai Ibu dalam tatanan adat,
namun kerajaan-kerajaan lainnya tetap memiliki otoritas kewilayahan
masing-masing, kecuali dalam hal pertahanan dan keamanan. Dari Ikrar
Tammajarra kedua ini pulalah terealisir keinginan untuk menyatu dalam sebuah
persekutuan Pitu Ba’bana Binanga ini, walau sebelumnya idea dasarnya telah
muncul pada saat Ikrar Tammajarra pertama.
Aralle bertugas sebagai juru penerangan, sebagai diplomator
atau pemerintahan adat. Baik ke dalam maupun ke luar. Lebih khusus, menjadi
pusat informasi, utamanya kepada Pitu Ba’bana Binanga mengenai hubungan kedua
wilayah besar serumpung tersebut. Sedang dalam bidang legeslative Aralle adalah
kedua sedang permusyawaratan adat. Matangnga sendiri, berfungsi dalam bidang
eksekutiv sebagai benteng pertahanan, khususnya jika persekutuan dalam keadaan
genting dan mendesak akan adanya serangan dari luar wilayah persekutuan. Di
bidang legislative Matanganga bertanggungj awab atas keamanan dan ketertiban
jalannya sidang musyawarah adat jika digelar.
Sedang Tabang bertugas menjaga keutuhan persatuan dan
kesatuan dalam bidang eksekutiv menjaga dan mengamankan hasil-hasil musyawarah
dalam bidang legislative. Sementara Bambang bertugas sebagai penghubung dengan
semua anggota persekutuan jika akan digelar musyarah adat dan menyimpan serta
menjaga kerahasiaan hasil musyawarah adat. Dan yang terakhir Tu’bi memiliki
tugas menjaga batas wilayah, sekaligus menjadi penghubung terkhusus kaitannya
dengan kepentingan rakyat dua wilayah persekutuan, utamanya dengan Pitu
Ba’bana Binanga. (idem).
Jika dipilah-pila, maka beberapa perjanjian tersebut seperti
dikemukakan oleh Drs. Muis Mandra (2004) adalah; Perjanjian Rantebulahan yang
konon terjadi pada abad ke-17 M. Antara kerajaan Rantebulahan dan mewakili Pitu
Ulunna Salu dan Balanipa dan mewakili Pitu Ba’bana Binanga. Motif
dari perjanjian ini adalah untuk memperkecil perbedaan pendapat guna persatuan
dan kesatuan.
Sedang perjanjian berikutnya adalah, Perjanjian Malunda yang
juga diklaim terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Rantebulahan.
Perjanjian ini dilangsungkan antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana
Binanga untuk menetralisi masalah Laikang Tallu dan Lante Samballa di
Taang.
Berikutnya adalah, perjanjian Passulurang Bassi di
Lakahang yang juga diduga terjadi pada abad ke-17 M yang bertujuan untuk
membicarakan tentang masalah orang Pasokkorang sebagai rampasan perang di
Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palili’ Massedan yang menghadap ke
Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menghadap ke Pitu Ba’bana Binanga.
Perjanjian lainnya adalah, Perjanjian Sungki’ yang diduga
terjadi sekitar abad ke-18 M yang materinya adalah membicarakan tentang status
Palili’ Massedan. Sedang perjanjian Damadama’ adalah perjanjian yang berikutnya,
dan diduga juga terjadi pada abad yang sama dengan Perjanjian Sungki’ yang
materinya juga membicarakan tentang status daerah Paili’ Massedan, utamanya
menyangkut hukum yang berlaku di daerah tersebut. Dimana ditetapkan melalui
perjanjian ini, bahwa hukum yang digunakan di Palili’ Massedan adalah hukum
yang hidup di daerah tersebut.
Perjanjian berikutnya adalah Allamunga Batu di Luyo,
sebagai titik sumbu penyeimbang peta geografis kewilayahan Mandar antara
persekutuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang
menurut sejarahnya di motori oleh Raja Balanipa ke dua yang digelar di Luyo.
Lalu dikatakan sebagai Allamungan Batu di Luyo, sebab pada perjanjian
atau deklarasi ini, kemudian di simbolkan dalam bentuk batu yang ditanam ke
dalam tanah di Luyo. Yang kini lalu menjadi simbol sejarah persatuan antara
kedua persekutuan di Mandar.
Sedang Sarman Sahudding (2004), juga menulis bahwa materi
kesepakatan atas ikrar atau perjanjian Loyu tersebut adalah pertama, jika
anasir musuh datang dari wilayah pegunungan atau pedalaman, maka itu dibawah
tanggung jawab Pitu Ulunna Salu sedang jika anasirnya musuh datang dari
wilayah pesisiran, maka yang menjadi penanggung jawabanya adalah, Pitu
Ba’bana Binanga. Lalu yang kedua adalah, ikrar persatuan dan soliditas
antara dua persekutuan tersebut. Dan yang ketiga adalah, pernyataan senasib
sepenanggungan diantara kedua persekutuan.
Perjanjian ini pulalah kemudian yang diklaim banyak orang
sebagai perjanjian persatuan dua buah persekutuan dan menjadi tonggak sejarah keluhuran
dan kebesaran peradaban Mandar. Cukup beralasan memang, mengingat bahwa
formalnya penyebutan Nama Mandar konon dimulai sejak adanya perjanjian ini,
yang sekaligus menandai menyatunya kedua persekutuan besar antara Pitu
Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu ke dalam satu serikat
konfederasi.
3.Masuknya Islam Di Mandar
Jauh abad sebelum Islam dikenal di Nusantera, utamanya pada
zaman kerajaan, dimana Islam belum sempat menyentuh mereka. Mandar hampir sama
persis dengan kerajaan-kerajaan atau komonitas adat lainnya di nusantara juga
ketika mereka belum mengenal adanya agama (baca : agama resmi). Sehingga yang
dapat di cermati dari era atau zaman tersebut adalah adanya kepercayaan yang
bisah diamati pada bentuk verbal simbol-simbol budaya.Yang kemudian dikenal
sebagai religi budaya.
Yusuf Akib (2003) menjelaskan bahwa, simbol-simbol tersebut
digunakan sebagai media untuk mengekspresikan emosi keagamaan, dengan syarat
bahwa simbol tersebut harus bisa membangkitkan perasaan dan keterikatan. Lebih
dari sekedar formulasi verbal dari benda yang dipercaya sebagai lambang.
Artinya, diyakini bahwa masyarakat adat Mandar ketika itu
hanya tunduk dan patuh kepada kepercayaan animisme yakni, kepercayaan kepada
roh yang mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai dan sebagainya,
selebihnya adalah juga tunduk dan patuh atas kepercayaan dinamisme atau;
kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Artinya
yang berkembang pada saat itu adalah, kepercayaan yang lalu kemudian di
bahasankan sebagai religi. Yang untuk itu dapat dilihat dalam lokalitas adat
yang hingga kini masih menyisahkan simbol-simbol budaya dan upacara-upacara
ritual kepercayaan, yang tentu diyakini dapat membangkitkan perasaan dan
keterikatan.
Di Mandar khususnya di wilayah pedalaman atau pegunungan
Pitu Ulunna Salu telah mengenal sebuah kepercayaan sebelum Islam banyak dianut,
religi budaya yang dikenal ketika itu adalah, Adat Mappurondo yang
diterjemahkan sebagai berpegang pada palsafah Pemali appa randanna.
Sarman Sahudding (2004).
Sedang untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga
sendiri, religi budaya hanya dapat ditemui pada peninggalannya yang berupa
ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia
bersumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti, tradisi
ritual mappasoro’ (atau melarungkan sesaji di sungai-pen). Atau mattula
bala’ (menyiapkan sesaji untuk menolak musibah-pen) dan lain sebagainya
yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari
sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya,
yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
Sementara khusus untuk agama resmi seperti Islam misalnya,
sebahagian pandangan menyebutkan, pertama dikenal oleh masyarakat Mandar pada
abad ke-16 M. saat itu berawal dari adanya para pedagang dari wilayah seberang
yang masuk ke Mandar. Utamanya daerah yang berada dipesisiran. Konon ketika itu
Daetta Tommuane, mara’dia yang memerintah di Balanipa didatangi oleh
Abdurrahim Kamaluddin seorang pembawa siar Islam dari Gowa yang kemudian
dikenal dengan sebutan Tuanta Yusuf alias Tuanta di Binuang sebab terakhir ia
berdiam dan lalu meninggal dan dimakamkan di Binuang Ibrahim Abbas (1999).
Menurut sejarah Tuanta di Binuang inilah kemudian yang mula
pertama menganjurkan dan mengerjakan Islam dengan pendekatan populis, yakni di
tingkat masyarakat paling bawah (grass root). Adapun metode yang ia gunakan
adalah mendirikan pusat-pusat pengkajian dan pengajian ke-Islam-an yang seperti
pesentren. Pesantren yang paling pertama ia bangun adalah di daerah
Tanggatangga. Salah satu daerah yang berada dibawah kendali wilayah mara’dia
Balanipa. Dan di Tanggatangg itu pula oleh Tuanta di Binuang kemudian
mendirikan Mesjid yang pertama di Tanah Mandar. Hal ini kemudian ditandai
dengan simbol yang dikenal sebagai mokking patappulo diwilayah tersebut, yang
kalo diterjemahkan kurang lebih berarti empat puluh orang santri. Sebagai
santri yang mula pertama diasuh di pesantren tersebut.
Sepeninggalan Tuanta di Binuang inilah kemudian secara pelan
namun pasti penganut agama Islam di Balanipa Kian bertambah massif, hingga ke
wilayah Allu, Palili, Binuang dan sebahagian Banggae. Lalu masi pada abad yang
sama, di Pamboang juga didatangi oleh dua penganjur Islam dari jawa dan bernama
Raden Suryo Dilogo dan Syekh. Zakariah yang berasal dari Maghreb di daratan
Afrika Utara. Berawal dari situlah kemudian Islam mula pertama dikenal di
Pamboang yang kemudian diiukuti oleh mar’dia Pamboang yang lalu bergelar
Tomatindo Diagamana, yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti orang yang
meninggal ketika ia telah menganut agamanya, yakni Islam.
Laiknya sebuah seruan kerajaan, saat mara’dia Pamboang
tersebut memeluk Islam, maka berbondong-bondong pulalah kemudian masyarakat
memeluk agama yang dianut oleh sang mara’dia. Lalu pada abad ke-17 di Salabose
Banggae juga Mara’dia Tondo’ juga didatangi oleh Syekh Abdul Mannan yang
digelar sebagai Tosalama’ di salah seorang penganjur Islam yang kemudian
diamini oleh para petinggi kerajaan di Banggae kala itu. (ibid).
Sementara itu, penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang
dan Tappalang mula pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa
alias Raden Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang
yang datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau
Sulawesi dan meratap pertama kali di Mamuju. (ibid).
Lantas bagaimana dengan Islam di
wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah
peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis
oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal
mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar
abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di
daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene’
atau yang bergelar Todilamung Sallang
(dimakamkan dalam keadaan beragama
Islam-pen). Yang lalu susul menyusul
diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka’ Mambi, Tomakaka’ Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan
di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.
Adapun pengaruh ajaran Islam yang masih
terlihat sebahagian sampai sekarang pada kebudayaan Mandar, antara lain :
l. Bidang Pendidikan.
Setelah Daetta Tommuane memeluk Islam terjadilah
perubahan di bidang kehidupan masyarakat seperti bidang pendidikan. Dikumpulkan sejumlah 44 orang mukim pemuda remaja
dididik menjadi kader-kader Islam. Oleh Raja Balanipa ditetapkan satu keputusan kerajaan yang berbunyi
sebagai berikut :
Naiya mukim tannaindo allo, tannaimbui
iri’ tandipandengngei, tandi pambulle-bullei, tandipa’ jagai, tandipannangi,
Madondong duambongi anna lopai lita, maloli dai do timor tarruppu, maloli naun
di wara tarruppu;
Artinya .
Adapun mukim itu tak tertimpa panas teriknya matahari,
tak terhembus tiupan angin, tak akan dibebani tugas-tugas dan pikulan yang
berat, tak akan dijadikan hamba sahaya. Dan apabila negara dalam keadaan panas,
ke timur atau ke barat, mereka tak akan pecah (tak boleh diganggu).
2. Pemerintahan.
Struktur pemerintahan telah mengalami pula perubahan, yaitu dengan menetapkan sorang kali (Kadhi)
sebagai Mara’dianna Sara’. Diadakanlah
pertandingan membaca al-Qur’an, yaitu siapa yang dapat menguasai
al-Qur’an dalam tempo satu bulan itulah juara pertama dan itulah yang menjadi Kali Balanipa I. Yang berhasil adalah seorang keturunan bangsawan yang
bernama I Tamerus alias Isinyalala. (ini menurut pendapat M. Darwis’
Hamzah), dan beberapa pendapat lain lagi dari para tokoh ‘ budayawan
Mandar lainnya.42
Di dalam struktur politik ditetapkan
empat komponen sebagai kemantapan
pertahanan nasional pada waktu itu, yaitu :
a. Golongan
bangsawan yang disebut Tomawuweng ;
b. Golongan
Alim Ulama dan cerdik pandai;
c. Golongan
Angkatan Perang ;
d. Golongan
pengusaha.43
3. Bidang Kesenian
Jika sebelum datangnya Islam, maka
upacara tari-tarian yang dikenal dalam kerajaan berfungsi
sebagai penyembahan kepada
dewa, dengan datangnya Islam, maka seni tari
hanya berfungsi sebagai bagian dari adat saja.
Tapi bagi orang yang telah menamatkan
al-Qur’an dikenal adanya upacara diarak keliling kampung dengan menaiki saiyang pattudu’ (kuda yang
pintar menari) sambil diikuti irama rebana, lalu di kanan kirinya kaum muda remaja memperlihatkan kebolehannya berkalinda’da’ (bersyair),44
3:1. Masalah perkawinan
Sampai pada saat ini di dalam perkawinan masih terdapat pengaruh ajaran Islam yang sukar ditumbangkan,
sekalipun di sana sini masih
terdapat sebahagian cara-cara yang tidak rasional dari pengaruh animisme dan Hindu. Yang menonjol
adanya pengaruh Islam ialah adanya khutbah
(pinangan) sebelum nikah, mangino (bermain-main dan berkejar-kejaran) sesudah akad nikah. Ini pernah dilakukan Nabi dengan Zainab. Penggunaan real (uang Saudi sekarang)
di dalam mahar, dan yang bertanggung jawab sesudah nikah adalah kaum lelaki. Ini sesuai firman Allah, yang artinya laki-laki adalah bertanggung jawab
terhadap kaum wanita. Syarat-syarat
calon suami adalah tamma’ topa
mangaji (harus tamat: mengaji).45
3.2. Masalah selamatan
Hingga saat ini selamatan masih dilakukan dengan baik
oleh masyarakat
Mandar. Pesta atau selamatan yang dibenarkan Islam ada tujuh perkawinan,
penyunatan, akikah, pindah rumah, bepergian jauh, setelah kembali
dari bepergian dan tasyakkur nikmat. Upacara kenduri dalam kematian, adalah
pengarah Hindu yang diislamisasikan
oleh para muballigh. Pesta-pesta lain seperti Maulid. Mi’raj. Halal bi
Hala’la adalah termasud yang tidak merusak:
Islam. Adapun selamatan pendirian rumah dengan menggantungkan air di dalam botol, kelapa, pisang pada tiang rumah bukanlah dari ajaran Islam; perlu
diberantas.
3.3.
Masalah pakaian
Pakaian wanita yang terdiri dari bayu pokko atau pasangan (Semacam baju
bodo), masih terasa adanya pengaruh Islam. Yaitu bila melihat baju bodo yang sangat
tipis dipakai oleh gadis-gadis remaja dari daerah Bugis/Makassar, ternyata di daerah
Mandar, gadis-gadisnya
belum berani merubah dari ukuran tebal menjadi tipis. Ini perlu dipertahankan, sebab di
samping budaya turun temurun
yang telah mendara daging, semangat inipun dijiwai oleh agama yang banyak dianut oleh masyarakat yaitu Islam. Demikian seorang pria dianggap kurang berakhlak jika
berhadapan orang tua lalu tidak pakai
kopiah atau songkok atau sapu tangan. Bahkan orang yang sudah haji tidak mau meninggalkan songkok Arab yang putih.46
3.4. Dalam ucapan dan nyanyian
Sampai saat ini masyarakat Mandar masih tetap terbiasa
dengan ucapan: Bismillah, Alhamdulillah,
Insya Allah, Masya Allah, Astagfirullah, Inna Lillah, Assalamu Alaikum, Wassalam, Amin, Mohamma’. Demikian dalam nyanyian dan syair (kalinda’da)
betapa banyak yang dapat ditonjolkan adanya pengaruh agama. Salah satu
diantaranya :
“Passambayang
mo’o dai, Pallima wattu mo’o, iyamo tu’u pebonga di ahera”
Artinya
:
“Hendaklah engkau tegakkan shalat, lima waktu selalu
sempurna, sebab itulah bekal utama menuju kampung akhirat”.47
3.5.
Malu berbuat dosa di muka umum
Siri’ yang telah dikenal oleh semua
bangsa di Sulawesi Selatan, mendapat pancaran dari jiwa tauhid, khususnya di
daerah Mandar, malu berbuat dosa utamanya di muka umum sangat menonjol.
Bagaimanapun jahatnya seseorang pasti memelihara lidahnya agar tidak keseleo,
malu melihat orang yang berbuat dosa, malu jika kehormatannya terganggu, malu
jika tidak berhasil dalam cita-citanya dan sebagainya.48
Sebelum uraian ini tiba kepada penutup, maka sekali lagi,
kami ulangi, bahwa untuk lebih membuktikan betapa agama Islam mempunyai
pengaruh yang sangat besar di dalam kebudayaan Mandar, coba diperhatikan dan
ditelusuri semua syair-syair Mandar, semua kalinda’da bertemakan
nasihat/agama, diperhatikan sebagai berikut :
1.
Bismilla urunna elong
Bungasna pau
Salama’ nasang
Inggannana mairangngi
Dengan nama Allah awal nyanyian
Pangkal setiap ucapan
Semoga segenap hadirin
Selamat sentosa bagi yang mendengarkan
2.
Manu-manu di Suruga
Saicco’pole boi
Mappettuleang
To sukku’ sambayanna
Burung indah penghuni Syurga
Senantiasa datang mengintai
Mengintai dan memperhatikan
Mereka yang sempurna menegakkan shalat
3.
Ahera’ oroang tongan
Lino dindandi tia
Borong to landur
Leppang dipettullungngi
Kampung akhirat tujuan akhir
Dunia hanya pinjaman
Ibarat musafir
Sekedar singgah untuk berteduh
4.
Meillong domai ku’bur
Sola sulo’o mai
Oroang ku’bur
Ta’lalo mapattanna
Dunia kubur memberi isyarat
Hendaklah anda siapkan obor
Sebab disana di liang kubur
Gelap gulita tiada taranya
5.
Sambayang ditia tu’u
Namaka di pesulo
Kedo macoa
Namaka di pekasor
Sembahyang itulah yang paling baik
Dijadikan obor dalam kegelapan
Karya yang mulia
Bakal yang cocok dijadikan kasur.49
B. Masalah Nama Suku Mandar
Jika ada orang yang ditanya, “dari mana?” Dia mungkin
menjawab, “dari Mandar” Jawaban yang demikian biasanya lanjut disusul dengan
pertanyaan, “Mandar mana. Majene atau Polewali.” Yang ditanya akhirnya bisa
menjawab secara pasti. “dari Polewali” atau “dari Majene” Dapat disimpulkan
bahwa Mandar secara geografis tidak sebatas dengan wilayah keresidenan
(Kabupaten) Polewali atau Majene, atau mungkin tidak sebatas kedua wilayah ini
secara simultan, melainkan seluas wilayah yang diperjuangkan menjadi Provinsi
Sulawesi Barat (Provinsi Sulbar). Dengan kata lain, dalam konteks geografis dan
bukan konteks kultural, istilah Mandar mencakup seluruh wilayah sulbar. Mungkin
juga bisah diterima bahwa secara kultural dan terbatas, Mandar mencakup
masyarakat Polewali, Majene, dan Mamuju. Jadi ada Mandar Polewali, ada Mandar
Majene, dan ada Mandar Mamuju. Karena itu, Mandar, dalam Konteks Kultural,
lebih sempit dari pada mandar dalam jangkauan makna geografis. Dalam konteks
geografis, Provinsi Sulbar tidak hanya dihuni oleh masyarakat Mandar Polewali,
Mandar Majene, dan masyarakat Mandar Mamuju, melainkan juga oleh masyarakat suku
Toraja di Kabupaten Mamasa.
Fama dan Stigma
Orang luar Sulsel pada umumnya sudah mengenal Mandar dalam
bingkai yang prestisious atau famous (fama = nama tenar karena baik) dalam
kaitan dengan ungkapan-ungkapan seperti “Sarung Mandar,” “minyak goreng Mandar,”
dan “Pisang Mandar.” Tempo doeloe, yang disebut sarung Mandar yang dicari-cari
pembeli pastilah bermutu, baik dari segi kainnya, maupun dari segi tata wakna
khas yang anti-luntur. Sarung Mandar menjadi primadona bagi pasar kain sarung
di seluruh nusantara. Namun, penjiplakan nama sarung Mandar dan Pengatasnamaan
jenis sarung ini demi laris di mata pembeli akhirnya melunturkan posisi sang
primadona.
Tempo doloe, sebelum meluasnya pemasaran minyak goreng
(Kelapa Sawit) asal fabrik dengan berbagai trade mark dan kemasan, minyak
goreng Mandar yang paling digemari karena hasil olahan dalam suhu tinggi yang
lama, juga karena aromanya yang merangsang nafsu makan. Selain itu, pisang
Mandar yang dijual di pasar adalah pisang yang memang sudah tua atau bahkan sudah
masak di pohon dan bukan pisang muda yang dikarbit sehingga tampak tua dan
menarik.
Mandar juga sangat dikenal, terutama dalam kaitan dengan
obat-obatan tradisional masyarakat Sulsel. Namun, Mandar dalam stigma tertentu
dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu pusat pengobatan black magic yang
amat ditakuti karena tinggi khasiat dan mujarabnya. Pelembekan kepala terhadap
lawan yang ingin disengsarakan atau jenis black magic yang lain (di samping
adanya white magic yang menjadi lawan terhadap black magic) menjadi cerita yang
lazim terdengar.
C. Geografi Suku Mandar
Wilayah Mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan
tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 1o-3o
Lintang Selatan dan antara 118o-119o Bujur Timur.
Luas
wilayah Mandar adalah 23.539,40 Km2, terurai dengan :
1. Luas Kab.Mamuju dan Mamuju
Utara
: 11.622.40 Km2
2. Luas Kabupaten
Majene
: 1.932.00 Km2
3. Luas Kabupaten Polewali Mamasa
: 9.985.00 Km2
Jadi luas Kabupaten Polewali
sendiri
: 9.985.00 Km2
Dikurangi luas Kabupaten Mamasa
sekarang : Km2
Semula
dari saman dahulu kala, minimum di zaman Penjanjian atau Allamungang Batu di
Lujo, batas-batas wilayah Mandar adalah :
- Sebelah Utara dengan Lalombi, wilayah Sulawesi Tengah
- Sebelah Timur dengan Kabupaten Poso, Kabupaten Luwu dan Kabupaten Tanah Toraja
- Sebelah Selatan dengan Binanga Karaeng, Kabupaten Pinrang
- Sebelah Barat dengan Selat Makassar
Kini
batas Mandar di Utara berubah jadi Suremana, yang berarti kita kehilangan
wilayah
lebih sepuluh kilometer, dan juga kehilangan lebih sepuluh kilometer di
Selatan, karena batas wilayah Mandar di Selatan sekarang sudah bukan Binanga
Karaeng, tapi Paku.
Sebelum
Mandar secara resmi memakai istilah Mandar, leluhur Mandar tampil dengan dua
predikat yang baku dan umum disepakati oleh leluhur di Mandar, yakni dua
predikat kelompok yaitu kelompok kerajaan di daerah pegunungan yang lazim
dikenal dengan istilah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) dan
kelompok kerajaan yang terletak di muara sungai, yang lazim dikenal dengan
istilah Pitu Baqbana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai), mereka leluhur
Mandar menggunakan istilah “Hulu” dan “Muara” sungai, perlambang jalinan persatuan
antara dua kelompok itu teramat erat yang tidak mungkin bisa dipisahkan,
laksana satu sungai yang hanya bisa dipilih antara Hulu dengan Muara. Antara
lain perjanjianyang bertujuan kesepakatan bulat demi untuk hidup bersatu, seiya
sekata, senasib dan sepenanggungan antara dua kelompok, ialah :
1. Perjanjian Rantebulahang :
Perjanjian
ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Kerajaan Rantebulahang
mewakili Pitu Ulunna Salu dan Kerajaan Balanipa mewakili Pitu Baqbana Binganga.
Tujuannya untuk memperkecil perbedaan pendapat, guna menjalin persatuan dan
kesatuan.
2. Perjanjian Malundaq :
Perjanjian
ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu
Baqbana Binanga. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah Lalilakang Tallu di Malundaq
dan Lante Samballa di Taang.
3.
Passullurang Basi di Lakahang :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara
Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babaqna Binanga. Tujuannya ialah masalah orang
Passokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari
daerah Palilinq Massedan menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya
menhadap ke Pitu Babaqna Binanga.
4.Perjanjian Sungkiq :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVIII Masehi,
antara Pitu Ulunna Salu, kakaruanna Tiparittiqna uhai dan Pitu Baqbana Binanga.
Tujuannya menjadikan daerah paliliq massedan menjadi kakaruanna Tiparittiqna
Uhai, sehingga waktu itu terjadi istilah Pitu Ulunna Salu, Kakaruanna
Tiparittiqna Uhai, Pitu Baqbana Binanga.
5.Perjanjian Dama-damaq :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad XVIII Masehi, antara
Pitu Ulunna Salu, daerah paliliq Massedan dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya
pembebasan daerah paliliq Massedan untuk memakai hukumannya sendiri didalam
daerahnya.
6.
Allamungang Batu di Luyo (Spamandaq di Lujo) :
Transliterasi :
a. Taqlemi manurunna peneneang
uppasambulobulo anaq, appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, nasaqbi
Dewata Diaya dewata diang, Dewata dikanang Dewata dikairi, Dewata diolo Dewata
diboeq, menjarimi passemandarang.
b. Tannisapaq tanniatonang, maq
allonang mesa mallatte samballa, siluang sambusambu sirondong langiqlangiq,
tassipande peogdong tassipadundu pelango, tassipelei dipanraq tassialuppei
diapiangang.
c. Sipatuppu diadaq sipalete
dirapang, adaq tuho di Pitu Ulunna Salu, Adaq Mate di Muane adaqna Pitu Baqbana
Binanga.
d. Saputangang di Pitu Ulunna Salu,
Simbolong di Pitu Baqbana Binanga.
e. Pitu Ulunna Salu memata di Sawa,
Pitu Baqbana Binanga memata di Mangiwang.
f. Sisaraqpai mato malotong anna
mata mapute, anna sisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.
g. Moaq diang tomangipi mangidang
mambattangang tommutomuane, namappasisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana
Binanga, sirumungngii anna musesseqi, passungi anaqna anna muanusangi sau di
uwai temmembaliq.
Terjemahan :
a. Sudah terfakta kesaktian leluhur
moyang menyatu bulatkan anak cucunya di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana
Binanga, diatas kesaksian Dewata (Tuhan) diatas Dewata dibawah, Dewata di kanan
Dewata di kiri, Dewata dimuka Dewata di belakang, lahirlah persatuan seluruh
Mandar.
b. Tak berpetak tak berpembatas,
bersatu bantal bertikar selembar, sepembalut tubuh selangit-langit, saling
tidak memberi makanan yang menyebabkan bisa tertulang, saling tidak memberi
minuman yang memabukkan atau beracun, saling tidak meninggalkan dikesusahan,
saling tidak melupakan pada kebaikan.
c. Saling menghormati hukum dan
peraturan masing-masing, Hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, Hukum mati disuami
adatnya Pitu Baqbana Binanga (Kerajaan Balanipa).
d. Destar (ikat kepala) di Pitu
Ulunna Salu, Sanggul di Pitu Baqbana Binanga.
e. Pitu Ulunna Salu menjaga Ular
(musuh dari darat), Pitu Baqbana Binanga menjaga Hiu (musuh dari laut).
f. Nanti berpisah mata hitam dengan
mata putih, baru juga bisa berpisah Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana
Binanga.
g. Barang siapa yang mimpi
mengidamkan seorang anak laki-laki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu
dengan Pitu Baqbana Binanga, bersepakatlah untuk segera membedah perut yang
hamil itu, lalu keluarkan ubang bayi laki-laki itu, kemudian hanyutkanlah ke
air yang tidak mungkin kembali lagi.
Perjanjian ini terjadi kira-kira
abad ke XVIII/XIX masehi antara leluhur Mandar yang mendiami daerah Pitu Ulunna
Salu dan daerah Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya kesepakatan bulat untuk secara
resmi menggunakan Mandar sebagai nama kesatuan suku dan budaya dan kesepakatan
mengakui bahwa Mandar adalah wilayah yang tercakup di daerah Pitu Ulunna Salu
dan Pitu Baqbana Binanga. Mulai saat itu leluhur orang Mandar mengakui
penggunaan istilah Mandar secara formal dan resmi sebagai nama kesatuan suku
dan budaya seluruh rakyat yang mendiami wilayah tertentu yang diberi nama
Mandar.
Maka
berdasarkan Sipamandaq di Lujo ini, lahirlah :
a. Mandar yang mempunyai wilayah
tertentu dengan letak geografis dan batas-batas tertentu.
b. Mandar yang mempunyai rakyat
tertentu yang di sebut suku Mandar.
c. Mandar sebagai satu diantara
empat etnis di Sulawesi Selatan.
d. Mandar dengan budaya spesifik
yang dikenal dengan budaya Mandar.
Dengan demikian, maka Mandar tidak bisa dijadikan nama salah
satu kabupaten di Mandar, karena akan bertentangan dengan syarat-syarat yang
dimiliki oleh Mandar, baik Mandar sebagai nama kesatuan suku budaya, maupun
syarat-syarat lain seperti letak geografis, luas wilayah dan rakyat yang masuk
criteria rakyat Mandar.
Kwalitas kemandaran diantara empat belas kerajaan yang ada
di Mandar semua sama, yang olehnya tidak ada satu kerajaan yang bisa mengklaim
nama Mandar untuk dipakai sendiri, karena Mandar adalah milik bersama empat
belas bekas kerajaan di Mandar.
Kecuali apabila diadakan lagi pertemuan seluruh Mandar dan
di bicarakan bersama lalu dicapai kesepakatan untuk mengisinkan salah satu
bekas kerajaan di Mandar untuk memakainya, penulis rasa ini tidak ada masalah.
D. Sistem Kebudayaan Suku Mandar
Pada suatu saat Baharuddin Lopa ditanya, “mengapa menurut
pendapat atau penilaian banyak orang. Pak Lopa adalah tokoh yang jujur dan
berani. Almarhum Baharuddin Lopa menjawab, andaikan pertanyaan mereka itu
benar, maka mungkin saya jujur dan berani justru karena saya ini orang Mandar,
ketika hal ini ditanyakan kepada penyair nasional asal Mandar, Husni
Djamaluddin, pernyataan Lopa itu dibenarkannya. Apa yang dia ucapkan, dia sudah
lakukan. Satunya kata dengan perbuatan adalah nilai utama masyarakat Mandar yang
dapat disampaikan dengan “lempu” (makna yang mencakup nilai kelurusan,
kejujuran, keadilan, dan keikhlasan).
1. Sistem Kekerabatan
Suku
Mandar, pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu sistem
bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak mereka yang
sekolah di tempat lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal istilah mesangana,
di Bugi asseajing, keluarga luas yaitu famili-famili yang dekat dan
sudah jauh tetapi ada hubungan keluarga . mereka tidak mendiami hanya satu d
tetapi tersebar di beberapa tempat (daerah).
Disini
kita melihat ada sedikit perbedaan dengan dengan suku Bugis, kerana didaerah
Bugis pada umumnya wanita yang memegang peranan dalam peraturan rumah tangga.
Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya
mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah, untuk menghidupi keluarganya.
Sebaliknya di Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka
aktif dalam pengurusan pencaharian nafkah, mereka mempunyai prinsip hidup,
yaitu Sibaliparri, yang artinya sama-sama menderita (sependeritaan)
seperti : Kalau laki-lakinya (sang suami) menangkap ikan, setelah sampai di
darat tugas suami dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah
tugas istri terserah apakah ikan itu akan dijual atau akan dimakan,
dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri. Di daerah Bugis wanita juga turut
mencari nafkah tetapi terbatas pada industri rumah, kerajinan tangan,menenun
anyaman, dan lain-lain.
Di
daerah Mandar terkenaldengan istilah hidup, sirondo-rondoi, siamasei, dan
sianauang pa’mai.
Sirondo-rondoi dimaksudkan bekerjasama bantu membantu dalam mengerjakan
sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga
kedua suami istri bergotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei,
sianuang pa’mai, (sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira
dan susah sama susah.
Secara
keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama bantu membantu baik
yang bersifat materil maupun sprituil.
Pada umumnya suku Mandar ramah-tamah yang muda menghormati
yang tua. Kalau orang tua berbicara dengan tamu, anak-anak tidak boleh ikut
campur (ikut bersuara).
a. Mengalah yaitu kalau menghadap
raja, kaki tangan dilipat.
b. Meminta permisi kalau lewat
didepan orang dengan menyebut Tawe.
c. Kalau bertamu sudah lama, mereka
minta permisi yang disebut massimang
Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data
Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai
Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya
hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di
Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan
Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.
Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain
yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu
sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada
Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna
bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.
Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra
raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu
kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari
peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu
daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya
berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di
bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama
daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya.
Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.54 hubungan kekerabatan
Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga
diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone,
maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung
Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja
Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng
Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.55
Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang
bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri
Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan
Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan
Taramanuq.
Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian
kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan
lain di Sulawesi Selatan.
3.
Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga
Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu
Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah,
bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan
keturunannya.
Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan
kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga
lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :
a.
Manusia yang berkembang di Balanipa
Seperti
yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang)
melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah
manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali.
Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang
yang malahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas
yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja
Balanipa yang pertama.
Demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang
ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang
pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.
b.
Manusia yang berkembang di Sendana
Selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke
tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri
berkembang pula di Tallangbalao senadana. Tidak lama kemudian, datang pula
Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang
pula keturunannya sampai sekarang.
Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang
berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali
kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di
mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik
diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan
orang di luar Mandar.
c.
Manusia yang berkembang di Banggae
semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di
Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas
juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah
Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula
Tomamakaq diSalogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana.
Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang
berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian
kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar.
Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang).
Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan
dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu
lebih berkembang luas sampai sekarang.
d.
Manusia Yang berkembang di Pamboang
Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu
melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang
passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa
Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu
Ulunna Salu.56
Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah
Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora
ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia
sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke
Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana,
kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang.
Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang
sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan
keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di
luar Mandar sampai sekarang ini.
e.
Manusia yang berkembang di Tappalang
Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri
dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai
sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.
f.
Manusia yang berkembang di Mamuju
Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng,
Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia
tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju.
g.
Manusia yang berkembang di Binuang
Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang
di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka
adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun
dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).59
2.Sistem Sosial
Pelapisan
masyarakat di daerah Mandar nampaknya masih ada walaupun tidak menjadi hal yang
mutlak dikedepankan lagi dalam pergaulan keseharian. Hal ini dapat diperhatikan
jika kita membaca sejarah Mandar.
Kerajaan-kerajaan
yang masih mempunyai kedaulatan pada masa berkuasanya raja-raja dahulu
hakekatnya terbagi dalam dua stratifikasi, yaitu lapisan penguasa dan lapisan
yang dikuasai. Sistem mobilisasi sosial orang Mandar memiliki sifat yang amat
sederhana dan elastis dimana lapisan penguasa bukan hanya dari golongan tomaradeka
(orang biasa), apabila mereka mampu memperlihatkan prestasi sosialnya,
misalnya : to panrita
to sugi
to baranito sulasana,
dan to ajariang. 20
Kelima macam tersebut ditempatkan dalam lapisan elit
(golongan atas orang terpandang). Dengan demikian terjadilah mobilisasi sosial
horisontal bagi anak puang. Lambat laun nampak pelapisan masyarakat ini makin
tipis akibat pembauran dalam bentuk perkawinan. Kelima golongan tadi juga
memiliki andil untuk dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat karena
kelebihannya itu.
Struktur masyarakat di daerah Mandar pada dasarnya sama
dengan susunan masyarakat di seluruh daerah di Sulawesi Selatan, dimana susunan
ini berdasarkan penilaian daerah menurut ukuran makro yaitu : 1. Golongan
bangsawan raja, 2. Golongan bangsawan hadat atau tau pia, 3. Golongan tau
maradeka yakni orang biasa, 4. Golongan budak atau batua.21
Golongan bangsawan hadat ini merupakan golongan yang paling
banyak jumlahnya. Mereka tidak boleh kawin dengan turunan bangsawan raja supaya
ada pemisahan. Raja hanya sebagai lambang sedangkan hadat memegang kekuasaan.
Friedricy 22 (ahli sosiologi) pernah menulis tentang lapisan
masyarakat pelapisan masyarakat Mandar :
a.
To diang layana (Zij die vors tenbloed hebben)
1.
De Arajang (de regeerende vorstengersladht).
2.
De Ana Mattola Payung (de opvolgers van vorige vorsten).
3.
De Araddia Tallupparappa (de drie kwart maradia’s).
4.
De Puwang Sassigi (de halve heeren).
5.
De Puwang Siparapa (de kwart heeven).
b.
Tau Maradeka (Bevrijejen).
1.
De Tau Pia (regenten adel).
2.
Tau Pia Nae (hoorgere hoofdengeslachten).
3.
Tau Pia (lagere hoofdengeslachten).
c.
Batuwa
1.
Batua Sassorang (erpslapen) (Budak turun temurun)
2.
Batuwa Dialli (nieuwe salavan) (Budak yang dibeli)
d. Batua
Inrangang (menjadi sahaya karena kalah perang atau karena berutang).
Menurut Ahmad Sahur dalam teorinya manifestasi gotong royong
dalam masyarakat Mandar, bukan puang sassigi melainkan puang sassigi,
bukan tau pia melainkan tau mapia karena tau pia tidak ada
artinya dalam bahasa Mandar.
Menurut Dr. Darmawan Mas’ud mungkin Friedericy benar kalau
dia mentranskripsikan dari huruf lontara. Puwa bisa dibaca Puang,
bisa juga Pua, karena huruf lontara tidak menggunakan huruf mati.
Sesudah agama islam masuk ke daerah ini perbudakan dihapuskan, akan tatpi
sahaya-sahaya tersebut tetap setia pada tuannya sampai sekarang. Kalau ada
diantara mereka yang menikah dia berusaha menghadirkan tuannya. Hal ini sudah
merupakan tradisi turun-temurun dan yang menarik di daerah Mandar, ialah
golongan bangsawan hadat di daerah lain tidak ditemukan golongan tersebut.
Golongan ini yang paling banyak jumlahnya dan ini yang paling ketat memegang
adat. Golongan bangsawan raja tidak boleh kawin dengan golongan bangsawan
hadat. Kalau terjadi perkawinan demikian, maka keturunannya tidak boleh
menjadi raja di kerajaan Pitu Ba’bana Binanga. Maka timbulnya hadat
yang pertama menurut lontara Mandar sebenarnya merupakan hasil musyawarah
antara bersaudara anak Tomakaka Napo. Puang
di Gandang kemudian beranak
Todilaling dengan.
|
Puang di Tamajarra’ yang kemudian beranak puang di
Pojosang. dan puang’di Pojosang inilah yang menjadi hadat yang pertama Mam Majelis Hadat
berfungsi sebagai menteri urusan dalam negeri. Dan sebagai hadat yang paling
tinggi. Turunan beliau inilah ang, .menjadi cikal-bakal bangsawan hadat, sedangkan Todilaling menjadi Arajang
yang pertama dan seterusnya turunan turunannya dengan perjanjian sebagai berikut: “…Upakayyango mupakaraya,
madondong duambungi anna mapparattas o wakeq, marropo-ropo batu wali membali akayyangang … “artinya hadat berkata pada raja, “…engkau terangkat menjadi orang terhormat, tetapi engkau
wajib memuliakan saya, besok lusa jika engkau berlaku tidak senonoh dan berbuat sesuatu yang menjadikan kerusakan dan kehancuran negeri, maka akan saya
ambil kembali kebesaranmu’’.24
Demikian perjanjian ini berlaku sampai sekarang dimana
bangsawan raja dalam waktu mana saja wajib menghormati bangsawan hadat,
ditandai dengan panggilan puang, dan ; bangsawan hadat menghormati dengan
ditandai dengan panggilan daeng, utamanya di dalam acara-acara resmi kerajaan.
Dari perjanjian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa raja
tidak dapat bertindak sendiri tanpa persetujuan hadat. Gelar Andi di Mandar
baru ada sesudah pengaruh Bugis masuk di daerah Mandar.
- Sistim Religi
Pada
umumnya suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam
kehidupan sehari-hari tidak dapat melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan
seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat
dan guru-guru yang baik bersifat baik dan buruk (black magic) Daerah Mandar
terkenal dengan guna-gunanya. Di samping itu orang-orang Mandar masih
mengadakan upacara-upacara untuk pemujaan arwah nenek moyang . Hingga saat ini sejarawan di Sulawesi Selatan
mengakui bahwa masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan ialah pada
tahun 1603 M., yang pertama memeluk Islam ialah Raja Luwu di kampung . Patimang.
Setelah memeluk Islam (mengucapkan syahadat) namanya menjadi Sulthan
Waliyumidrakhudie. Kemudian atas usul Sultan agar Islam lebih jaya,
menganjurkan kepada ketiga’ datuk pembawa Islam masing-masing
Datuk Sulaiman, Datuk Tunggal dan Datuk
Bungsu, agar mendatangi Raja Gowa mengajak masuk Islam. Tangga122
September 1605 M. Raja Tallo’, I
Malaingkaan Daeng Manyonri dengan gelar Sultan Awwalul Islam, telah memeluk Islam kemudian I Manggarai Daeng.
Manra’bia dengan gelar Sultan Aluddin, Raja Gowa juga telah menjadi Muslim.35
Setelah kedua raja tersebut memeluk
Islam, maka berduyun-duyunglah rakyatnya memeluk Islam tanpa paksaan dan
intimidasi. Berbeda
dengan raja Bone pada mulanya hanya rajanya yang bersedia, tapi rakyatnya tidak. Nanti pada tahun 1611 Raja Bone dan rakyatnya telah masuk Islam setelah melihat
perkembangan Islam
6. Sistem
Kesenian
Kalau di daerah-daerah lain dikenal dengan tarian-tarian
khusus, maka di Mandar dikenal juga tarian seperti pattu’du. Tarian tersebut
berasal dari kerajaan Balanipa Mandar dahulu. Sekarang terkenal pula di daerah
Tinambung. Kondo sapata; Mambi, Sumarorong, Pana, Mamasa, Seni rakyat yang juga
terkenal ialah kuda Battu’du, yakni menari-nari mengikuti irama musik.
Pencak silat, semuannya ini sering dipertunjukkan kalau ada pertunjukan juga
kalau ada pesta perkawinan.
Alat
musik rakyat :
- Pakkeke,. yaitu suling yang dibuat dari bambu dililit daun lontar,
alat musik ini dapat, dijumpai di Tinambung atau Campalagian.
- Gambus
- Rabana
- Kecapi
- Gamelan
- Suling.31 .
Sistim
teknologi meliputi
1. Alat produksi
2. Bambu = semacam bakul
- Keranjang = anyaman yang terbuat dari bambu
2. Alat-alat rumah tangga
a. Alat dapur
- Sipi-sipi
(bahasa Mandar) = penyepit api
- Balenga = belanga
- Gusi
= tempat beras / tempat air
-
Pamuttu =
Wajan
-
Tappiang =
Penampi beras
-
Kawali
= Wajan dari tanah
- Okkang
= Alas periuk dari rotan
- Pegaru
bassi
= Untuk menggoreng
b. Alat makan.
-
rotta
= Sendok nasi dari kayu
-
Gallas
= Gelas
-
Pindang
= Piring
-
Seru
= Sendok
- Pattombong
ande
= tempat nasi
-
Okkang
= Alas periuk
c. Alat tidur.
-
Tappere =
Tikar
-
Kasur
= Kasur
-
Pa’disang
= Bantal
d. Alat pertanian.
-
Sodo
= Sabit
-
Parrassang
= Linggis
-
Dakkala
= Bajak
3. Alat-alat perburuan.
-
Pattado
= Jerat
- Bassi /
Peratu
= Tombak
4. Alat Perikanan
-
Jala
= jala
- Jala-jala rambang = jala kecil lubangnya
-
Parappang
= untuk menangkap cakalang dibuat dari bambu
-
Bose
= dayung
-
Lopi
= perahu
-
Lepa-lepa
= sampan
5. Alat peternakan
- Salokko
= kurungan ayam
-
Kola
= kandang
6. Alat kerajinan (pertenunan)
-
Panette
= alat untuk merapatkan benang
- Panasi
= kanji dari pepaya mentah direbus lalu dibusukkan
-
Roeng
= alat untuk menggulung benang
-
Unusan
= alat untuk membuat benang
Teknik membuat sarung Mandar
Benang sutera dimasak dengan pewarna dari daun-daunan sesudahnya
dimasak, dicuci lagi bersih-bersih, setelah itu barulah digulung dan
selanjutnya ditenun. Pada umumnya sarong Mandar warnanya suram, seperti hitam, merah
tua, coklat tua.
Hal ini dimungkinkan karena pewarna dimasak bersama-sama dengan
benang. Di daerah Bugis tidak demikian halnya, tetapi sarung sutera
Bugis mudah luntur asal kena air, sedang sarung Mandar tidak luntur.
7. Alat peperangan
-
Gajang
= keris
-
Doe
= tombak
-
Kawi
= Pisau
- Jambia = badik
8. Alat-alat untuk upacara
-
La’lang
= Payung
-
Lamming
= pelaminan hanya digunakan untuk bangsawan
-
Cerek
= tempat air
- Pambulukang
= semacam pipa untuk rokok
- Ti
‘uduang
= tempat ludah
Alat upacara
- Doe
pakka
= tombak yang bercabang dua
-
Ganrang
= gendang
-
Gong
= gong
- Sia-sia = semacam alat bunyi-bunyian yang
dibunyikan kalau upacara mau dimulai.
Tempat upacara
- Baruga = sejenis rumah, dindingnya dari bambu
bersilang tempat upacara adat yang lebih besar.
-
Battayang
= bangunannya lebih kecil
9. Alat-alat distribusi dan transport
- Bendi = dokar (transport
darat)
- Lopi = perahu
(transport air)
Di Mandar terkenal pembuatan perahu Sande dan Baggo.32 Demikianlah
sekilas lintas mengenai adat dan upacara
upacara di Mandar.
Satu fungsi rumah adalah tempat berteduh dan berlindung.
Tetapi tentu tidak sampai disitu, sebab rumah selain fungsi tersebut, rumah
juga dapat memberi ciri kepada penghuninya. Sekaligus dapat membedakan tingkat
dan strata sosial pemiliknya dalam masyarakat. Di Mandar hal yang serupa juga
demikian adanya, Dimana disamping ia memperhatikan estetika (keindahan-pen),
fungsi dan kegunaan serta posisi-posisi, pembagian ruangan atau yang lebih
dikenal semacam feng shui, di dalam rumah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya
itu adalah merupakan suatu kebiasaan yang telah turun temurung dilakukan oleh
masyarakat. Namun hal yang paling mencolok dapat di amati dari rumah Mandar
selain berbentuk rumah panggung, seperti kebanyakan khas rumahrumah etnis
Sulawesi, ia juga memperhatikan beberapa syarat dalam proses pendiriannya.
Dalam membuat rumah ini mereka
memperhatikan syarat-syarat seperti yang ditulis Ibrahim Abbas (1999), yang
menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut adalah seperti, syarat ekonomi yaitu,
memakai biaya yang serendah-rendahnya dan memanfaatkan alam sekitar. Sehingga
rata-rata rumah yang ada di Mandar terbuat dari kayu yang tentu jenisnya
bergantung kepada kemampuan pemilik rumah. Syarat yang kedua adalah, syarat
teknis, yaitu menggunakan ukuran dan perbandingan yang sesuai. Misalnya ruang
rumah lebih tinggi daripada kolong rumah, ruas tengah rumah lebih panjang dari
pada ruas muka dan ruas muka lebih panjang daripada ruas belakang, tinggi tiang
bubungan ada yang pakai ukuran puang atau bangsawan atau sukaq tang-nya (tinggi
tiang bubungan seperdua daripada panjang balok kuda-kuda), yaitu ukuran bagi
orang todiang laiyana (bangsawan), untuk orang tau pia biasa (orang terhormat
biasa) ukuran tersebut dikurangi sedikit, dan bagi tau samar atau orang
kebanyakan, menggunakan suka’ ukuran tallu. Tinggi tiang bubungan itu sepertiga
dari panjang bae’ atau kudakuda. Tiang-tiang dilubang dan dihubung-hubungkan
dengan balok secara melintang dan membujur dan di perkuat pula dengan passasil
(pasak) dan panjoli (paku dari kayu) Syarat berikutnya adalah syarat kesehatan
yaitu, menggunakan jendela yang berbentuk persegi empat agar cahaya dapat masuk
kedalam rumah dan petukaran udara lancar. Ukuran luas rumah bervariasi antara 5
x 7 cm dan 7 x 9 m.
Diamati dari bentuk ruang dan
fungsinya rumah Mandar dapat dibagi atas beberapa ruang dan fungsi sebagai
berikut; naung boyang (kolom rumah), ruang yang berada dibawah ini lazimnya
digunakan sebagai arena untuk menenun lipa sa’be Mandar (sarung sutra
Mandar-pen), menyimpang kayu bakar, alat-alat kerja dan lain-lain ruang
berikutnya adalah ruangan diatas rumah yang untuk mencapainnya menggunakan ende
atau tangga yang terbuat dengan kayu, ruang boyang atau ruangan rumah bagian
atas terdiri dari tallullottang (tiga petak) yang dibagi-bagi menurut
kebutuhan. Petak pertama samboyang sebagai ruang tamu, petak kedua tangnga
boyang sebagai ruang keluarga, peta tiga adalah ruang belakang yang kerap
dijadikan, sebagai songsi atau kamar tidur baik untuk orang tua maupun
anak-anak serta keluarga lainnya. Sedang dapur biasanya menjadi bahagian
tersendiri dari ruang dan mutlak selalu berada di belakang.
Sedang ruang berikutnya adalah, tapang
(loteng), ruangan ini terletak diatas ruang tengah yang berfungsi sebagai
tempat tidur anak gadis dan tempat menyimpan barang-barang berharga yang tidak
digunakan sehari-hari pada waktu ada selamatan, kenduri atau acara perkawinan,
dijadikan tempat mengatur lauk-pauk yang akan dihidangkan kepada para tamu
untuk mencapainya mesti melalui ende atau tangga ke atas (ibid).
Irama
musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan
ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak
gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi
laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan
sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun
sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis
lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan.
Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.
Jika
terdengar lagu “Tengga Tengga Lopi”terkesan suasana kelautan dan kebebasan
orang Mandar, bukan saja sebagai pelaut dengan perahu “Lopi” –nya yang
digunakan untuk menjinakkan samudera dan mengembara ke segala penjuru,
melainkan juga mengungkap gaya kebebasan hidup orang Mandar yang pantang
dibelenggu. Selain Perahu Lopi, Parahu Sande’ pun. Dalm ukuran yang jauh lebih
kecildaripada Lopi digunakan secara luas oleh warga masyarakat untuk mencari
nafkah dan mengangkut barang kebutuhan sehari-hari dari pulau ke pulau atau
laut ke pantai dan desa. Perahu Sande’ pernah di pamerkan di Paris, Perancis
1997 dan bahkan di jadikan Maskot Pameran Bahari 1997 selam 11 bulan di Paris.
Irama
musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan
ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak
gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi
laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan
sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun
sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis
lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan.
Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.
Jika
terdengar lagu “Tengga Tengga Lopi”terkesan suasana kelautan dan kebebasan
orang Mandar, bukan saja sebagai pelaut dengan perahu “Lopi” –nya yang
digunakan untuk menjinakkan samudera dan mengembara ke segala penjuru,
melainkan juga mengungkap gaya kebebasan hidup orang Mandar yang pantang
dibelenggu. Selain Perahu Lopi, Parahu Sande’ pun. Dalm ukuran yang jauh lebih
kecildaripada Lopi digunakan secara luas oleh warga masyarakat untuk mencari
nafkah dan mengangkut barang kebutuhan sehari-hari dari pulau ke pulau atau laut
ke pantai dan desa. Perahu Sande’ pernah di pamerkan di Paris, Perancis 1997
dan bahkan di jadikan Maskot Pameran Bahari 1997 selam 11 bulan di Paris.
Tari-tarian
mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana.
Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan
akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat
pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang
memberi hiburan yang sehat.
Tari
“Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para
penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan
mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai
budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik
yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan
bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah
lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang
sama bisa ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar.
7. Sistem Bahasa.
Seperti suku-suku atau etnis lainnya
yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa
bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku
tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar
dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga
dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon masih sama dengan etnis lainnya
di Indonesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia
atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang
Indonesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib
dkk (1992), bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari
daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara
daerah Karossa.
Walau hingga kini tidak jelas benar
sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat
diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau
manusia pertama yang ada di tanah Mandar. Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan
adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar
abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).
Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang
digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar
telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa
lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.
Sedang menilik area penyebaran bahasa
Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di
beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju
Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah
menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat
ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang
berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar.
Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang
memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara
di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui banyak masyarakat yang menggunakan
bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar
di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa.
Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa
Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah
Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring Kabupaten Pangkep.
Selain itu, juga ada kecenderungan
yang sama dengan bahasa lain di luar bahasa Mandar yang mengikuti para
pendukung bahasa Mandar dimanapun ia berada. Sehingga bahasa Mandar jika
dilihat dari persebarannya juga banyak kita temuui di beberapa daerah dimana
orang dari suku bangsa Mandar berada. Katakanlah seperti, di Kalimantan, Nusa
Tenggara, beberapa dearah Palu Sulawesi Tengah, Bali, Madura dan beberapa
tempat lainnya dimana disitu berdiam komunitas dari suku bangsa Mandar.
Kendati demikian, tidak lantas menjadi
hambatan dalam proses komunikasi masyarakat Mandar, sebab proses penyatuan dan
peleburan dalam komunikasi telah terjadi pembauran bahasa yang relatif sudah
cukup cair utamanya di daerah Mandar sendiri. Jika menilik dialek bahasa
Mandar, maka dapat diklasifikasikan kedalam pembahagian beberapa dialek
seperti, dialek Balanipa di Kabupaten Polmas yang berpusat di Tinambung dengan
varian-varian seperti Lapeo, Pambusuang, Karama, Napo, Tandung, Todangtodang.
Sedang dialek lainnya adalah dialek
Pamboang yang terdapat di Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene yang variannya
adalah, Luwaor, Bababulo, Adolang dan Tinambung Galunggalung. Sementara dialek
Sendana juga di kabupaten Majene, digunakan di kecamatan Sendana dan daerah
pesisir Kecamatan Malunda dengan variannya Mosso, Somba, Palipi, Pelattoang,
Tammero’do. Dan daerah lainnya di Malunda juga dikenal dialek Ulu Manda’ yang
juga berbatasan dengan daerah pedalaman Pitu Ulunna Salu di daerah gunung.
Selain itu j uga dikenal adanya dialek Awo’ Sumakuyu yang dapat ditemui
penggunaannya di Desa Onang dan perbatasan Malunda dengan varian, Desa Tubo
yang diduga juga adalah termasuk dialek Ulumanda’ atau dialek Mambi Mehalaan.
Kendati terdapat beberapa dialek clan penggunaan bahasa lain di daerah Mandar,
tetapi pada umumnya dapat memahami dialel: Balanipa. Hal ini disebabkan peran
dialek Balanipa pada zaman kerajaanlah yang banyak mendominasi dalam
berkomunikasi. Utamanya pada saat gelar pertemuan antar beberapa kerajaan,
dimana kerajaan Balanipa diposisikan sebagai ayah dalam peta kerajaan-kerajaan
di Mandar. Praktis membuat penggunaan dialeknya menjadi dominan pula. Abdul Muttalib,
dkk (1992).
Selanjutnya jika dilihat dari tingkat
kesamaan dialek, maka dalam bahasa Mandar dapat disebutkan, bahwa kesamaan
dialek Balanipa dan Sendana sebanyak 184 buah kata, Balanipa dan Pamboang 190
buah, Balanipa dengan Majene 196 buah. Dan dialek Majene dan Sendana 182 buah,
Majene dengan Pamboang 189, sedangkan Pamboang dan Sendana sebanyak 185
kesamaan. Artinya tingkat kesamaan rata-rata sekitar 90 % sedangkan
perbedaannya berada dibawah 10 %. ( ibid).
Sedang menurut Ibrahim Abbas (1999),-
bahwa setiap kelompok masyarakat di Mandar memiliki dialek tersendiri, namun
yang paling menonjol perbedaan dialek, bahkan sampai pada bentuk pengucapan
verbalnya dapat dilihat pada, dialek Mamasa, Campalagian, Balanipa, Pamboang,
Malunda dan Kalumpang.
Masih menurutnya, dari segi penggunaan
dan penggolongannya, maka bahasa Mandar membedakan tiga jenis bahasa yaitu,
bahasa Hadat(bahasa golongan bangsawan) adalah bahasa yang dipakai dalam
berkomunikasi antara sesama golongan bangsa wan, bahasa Samar (bahasa golongan
menengah) adalah bahasa yang dipakai dikalangan umum masyarakat. Namun masih
terasa adanya penghormatan -dari orang muda terhadap orang yang lebih tua. Dan
yang terakhir bahasa Adae (bahasa buruk atau pasaran yang digunakan golongan
bawah) adalah bahasa yang kurang bahkan tidak mengikuti aturan dan etika ketata
bahasaan Mandar, yang penting mudah dipahami dan dapat digunakan dalam
berkomunikasi.
Hal berikutnya yang juga dikenal dalam
bahasa Mandar adalah, teknik berbicara dan makna pembicaraan, yang untuk itu
dengan mudah dapat dicermati dalam keseharian yang berbentuk, bahasa resmi,
bahasa akrab dan bahasa kiasan. Selain gaya bahasa seperti tersebut diatas
orang Mandar mengenal pula adanya bahasa tomawuweng (bahasa orang tua-tua),
bahasa topanrita (bahasa ulama), bahasa dukun atau yang dikenal dengan bahasa
sando di Mandar. (ibid).
Sampai disini, jelas tergambar, bahwa
selain bahasa Mandar menjadi alat pemersatu dan komunikasi antar orang Mandar,
juga dapat dengan mudah menjadi penanda yang digunakan dalam mengamati orang
Mandar, utamanya dari dialeknya yang dapat menunjukkan dari komunitas lokal
mana orang Mandar tersebut berada. Selain itu, lebih jauh bahasa Mandar juga
dapat menjadi simbol penanda dari kelas sosial mana orang tersebut berada. Hingga
sampai kepada penanda untuk mengamati profesi orang yang menggunakan, dilihat
dari gaya pengucapannya.
Walau kini dalam realitas
kesehariannya sudah agak susah untuk membedakannya. Namun yang pasti realitas
kebahasaan tersebut, paling tidak, pernah dikenal di Mandar. Sekaligus
menunjukkan betapa kayanya bahasa Mandar, utamanya menilik makna dan hakikat
intrinsik yang lebih dalam dari sekedar yang tampak atau terdengar verbal dalam
bahasa Mandar.
8. Sistem Pemerintahan
Selam dua tahun terakhir, sangat kencang terdengar tuntutan
pemekaran Provinsi Sulsel menjadi sejumlah provinsi. Tuntutan awal yang sangat
menonjol terhadap berdirinya provinsi baru dengan nama Provinsi Sulawesi Barat
atau Provinsi Sulbar dicetuskan oleh masyarakat Mandar. Berdirinya Sulbar sebagai
provinsi baru menuntut pemekaran kabupaten sebagai prerequisite yang harus
dipenuhi sesuai dengan undang-undang. Karena itu, Kabupaten Polewali –Mamasa
dimekarkan menjadi Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa.
Usul agar kabupaten diubah menjadi Kabupaten Mandar
sebaiknya diubah menjadi “KABUPATEN MANDAR POLEWALI” karena
kemungkinan masih akan ada Kabupaten (Mandar-)Majene, dan Kabupaten
(Mandar-)Mamuju, sedangkan Kabupaten Mamasa tetap saja Kabupaten Mamasa tanpa
embel-embel lain seperti Mandar karena mayoritas masyarakat Mamasa termasuk
masyarakat Toraja Barat. Bisa saja orang Mamasa yang ingin mengubah nama
Kabupaten Mamasa menjadi Kabupaten Toraja Mamasa. Kata Toraja menunjukkan etnis
budayanya, sedangkan Mamasa menunjukkan ikatan politik atau ikatan geografis
yang menjadi tumpuan bagi institusi pemerintahan didalam wilayah Provinsi
Sulbar yang akan dibangun. Karena itu, tak mengherankan bahwa para tokoh
pendiri Provinsi Sulbar tidak menjadikan Sulbar Provinsi Mandar seakan-akan
Provinsi Sulbar hanya khusus bagi masyarakat Mandar karena Kabupaten Mamasa
aadalah juga bagian tak terpisahkan dari Sulbar.
Desentralisasi dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui
adalah sebuah proses yang bertolak belakng dari sentralisasi kekuasaan yang
otoriter. Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah
menguasai masyarakat nusantara yang majemuk yang hidup di berbagai kepulauan
nusantara yang bertaaburan diatas samudra. Mayarakat nusantara mengalami
perlakuan yang tidak adil. Jalan keluar dari ketidakadilan adalah
desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah. Dengan kata lain, otoda adalah
anak kandung dari usaha untuk memerangi ketidakadilan dan usaha untuk
mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan otoriter yang membelenggu rakyat atau
masyarakat nusantara.
Bukan mustahil, lahirnya rencana Provinsi Sulbar adalah juga
didasarkan pada reaksi politik terhadap ketidakadilan dan management
pemerintahan daerah yang meniru-niru pusat. Kehadiran Provinsi Sulbar
diharapkan dapat menjamin penegakan keadilan oleh pemerintah Provinsi (Sulbar)
terhadap kabupaten-kabupaten hasil pemekaran.
Kata kunci bagi pengembangan Provinsi Sulbaryang sudah lama
ditunggu follow-up hukum/undang-undang dan politiknya adalah “demokrasi,
keadilan, dan kemajemukan.” Demokrasi menuntut dihormatinya perbedaan-perbedaan
dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat dengan background multi-ethnic
yang saling berbeda. Perbedaan itu akan hadir dan menjadi sesuatu kenyataan
hidup yang mempesona jika nilai keadilan justru menjadi kekuatan yang menjamin
kerukunan hidup bagi masyarakat yang pluralis.
PENUTUP
- Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :
- Suku mandar adalah adalah nama suatu suku (etnis) bangsa dan nama budaya dalam Lembaga Kebudayaan Nasional dan Lembaga Pengkajian Budaya Nasional. Diistilahkan sebagai etnis karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari empat suku utama yang mendiami kawasan propinsi Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (Mangkasara’ ) etnis Bugis (Ogi’ ), etnis Toraja (Toraya)1. pengelompokan ini dimasukkan dalam suatu kelompok pengkajian yang disebut “Lagaligologi”.
- Suku Mandar terletak di Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Selatan. Mendiami daerah di sepanjang aliran sungai Mandar dan Tajung Mandar di kabupaten polewali dan mamasa. dalam konteks geografis meliputi wilayah dari batas Paku (Wilayah Polmas) sampai Suremana (Wilayah Kabupaten Mamuju). Akan tetapi dalam makna kualitas serta simbol dapat kita batasi diri dalam lingkup kerajaan Balanipa sebagai peletak dasar pembangunan kerajaan (landasan ideal dan landasan structural)
- Mengenai nama Mandar dalam catatan sejarah, kita ketemukan dalam sastra Ilagaligo, dengan istilah Manre’, dam dalam naskah Allamungang Batu di Luyo di sebut dengan istilah “Sipandar”, sedangkan nam yang masih melekat pada indikasi geografis adalah “Ulu Mandar” (daerah hulu sungai Mandar yang mengalir di Tinambung-Polmas). Kata Manda atau Mandar dalam Ikrar Sipamanda di Luyo terdapat pengertian yang sinonim dengan kuat, sehingga makna Sipandar di Luyo diartikan sebagai suatu ikrar bersama untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan diantara mereka yang didorong oleh tuntutan dan pengalaman sejarah yang mereka alami.
- Sistem kebudayaan Suku Mandar meliputi sistem kekerabatan, sistem sosial, sistem pangetahuan, sistem religi, sistim pengetahuan, sistem kesenian,sistim pemerintahan, sistim bahasa, dan sistim kesenian.
- Saran
1. Supaya seluruh orang Mandar berteguh dan konsekuen
menjadikan Mandar sebagai lambang Persatuan murni di seluruh etnis Mandar.
2. Untuk lebih mempertebal rasa kemandaran, supaya Budaya
Mandar digali, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan dan diwariskan kepada
generasi Mandar di seluruh wilayah Mandar.
3. Supaya seluruh Suku Mandar yang mengaku Berbudaya Mandar,
sama-sama memelihara keutuhan Mandar sebagai lambang persatuan dan kesatuan di
seluruh Mandar.
4. Supaya amanah Allumungang Batu di Lujo sebagai kearifan dan
Amanah leluhur Mandar, kita terima sebagai warisan leluhur Mandar yang paling
berharga untuk sama-sama dipegang teguh untuk memelihara keutuhan Mandar.
5. Diusulkan nama Kabupaten BalBen (Balanipa-Benuang) untuk
jadi pengganti nama Polewali-Mamasa.
Peta Sulba ( Mandar) |
Lipa Sa'be Mandar Sure' Panggulu |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar